Rabu, 09 Desember 2015

TARJIH

PEMBAHASAN

1.         Pengertian Tarjih
Pengertian tarjih secara etimologi, berasal dari kata “at-tarjiihu” yang berarti menguatkan.[1] Istilah lain yaitu:
خَعْـلُ الشَّيءٍ رَاجِحًا
“ Menjadikan sesuatu lebih kuat.”[2]
Konsep tarjih muncul ketike terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u wat taufiq. Dalil yang dikuatkan disebut dengan rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut dengan marjuh.
Secara terminologi yang dimaksud dengan tarjih ialah memperkuat salah satu dari dua dalil atau lebih yang berlawanan dengan adanya tanda yang dapat meyakinkan mujtahid bahwa dalil tertentu lebih kuat dari  pada dalil yang lainnya. Atau tarjih adalah
اِظْـهَارُ اِمْتِيَازِ اَحَدِ الْدَّلِيْلَينِ الْمُتَمَاثِلَيْنِ بِوَصْفٍ يَجْعَلُـهُ اَوْلَى بِاْلإِعْتِبَارِ مِنَ اْلآخَرِ
“Menampakkan kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama dengan sesuatu yang menjadikannya lebih utama dari yang lain.”
تَقْوِيَـةُ اِحْدَى اْلإِماَرَ تَيْنِ (اَيِ الدَّلِيْلَيْنِ الظَّنِّيَيْنِ) عَلَى اْلأُخْرَى لِيُعمَلَ بِهَا
“Menguatkan salah satu indicator dalil yang zhanni atas yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan).”
اِظْـهَارُ زِيَادَةٍ لِأَحَدِالْمُتَمَاثِلَيْنِ عَلَى الْآخَرِ بِمَا لاَيَسْتَقِلُّ
“Melahirkan sesuatu kelebihan bagi salah satu dua dalil yang serupa atas yang lain dengan sesuatu yang tidak berdiri sendiri.”[3]
Jadi, tarjih dalam istilah dapat disebut sebagai melakukan sesuatu kelebihan bagi salah satu dari dua dalil atau lebih yang serupa atas yang lain dengan sesuatu yang tak berdiri sendiri.[4]
Daridefinisi-definisi diatas dapat dirumuskan hakikat dari tarjih, yaitu:
a.       Ada dua dalil yang sama-sama memenuhi syarat untuk dijadikan dalil bagi suatu hukum.
b.      Kedua dalil tersebut berbenturan dan tidak ada kemungkinan untuk mengamalkan keduannnya dengan cara apapun.
c.       Ada petunjuk atau indikasi yang mewajibkan beramal dengan salah satu diantaranya (yang lebih kuat) dan meninggalkan yang lain (kurang kuat). Dalil yang kuat itu harus diamalkan, disebut rajih, sedangkan yang kurang kuat yang mesti ditinggalkan itu disebut marjuh.[5]

2.      Unsur dan Syarat-syart Tarjih
a.       Yang akan ditarjih hendaklah dalam satu masalah. Sama-sama tentang masalah haji misalnya, atau wajib dengan wajib, atau sunah dengan sunah dan sebagainya.
b.      Yang akan ditarjih hendaknya sama, dilihat dari segi tempat, waktu, syarat dan hal-hal yang dibicarakan.
c.       Adanya dua dalil.
d.      Adanya sesuatu yang menjadikan salah satu itu lebih utama dari yang lain.[6]
Mengenai sesuatu yang menjadikan salah satu dalil itu lebih utama dari yang lain, dijabarkan oleh ulama ushul secara panjang lebar dan mendetail. Hal ini bisa kita lihat pada uraian Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al Mustashfa, atau uraian AlAmidi dalam Al Ihkaam Ushulil Ahkam. Al Iraqi memberikan keterangan sesuatu yang dapat dijadikan dasar untuk mentarjih itu sampai pada 110 macam.
Jika kita lihat dari uraian ahli-ahli ushul diatas maka dapat kita bagi menjadi dua bagian, yaitu untuk dalul-dalil manqul dan untuk dalil-dalil maa’qul.
a.         Untuk dalil-dalil manqul dibagi menjadi tiga:
1)        Yang kembali kepada sanad dan ini dibagi menjadi dua:
a)        Yang kembali kepada perawi, dibagi menjadi dua:
(1)     Yang kembali pada diri perawi.
(2)     Yang kembali pada penilaian perawi.
b)        Yang kembali pada periwayatnya.
2)        Yang kembali pada matan.
3)        Yang kembali pada hal yang diluar kedua tersebut diatas.
b.        Untuk dalil-dalil maa’qul, dibagi empat bagian:
1)      Yang dikembalikan pada ashal.
2)      Yang dikembalikan pada fara’.
3)      Yang dikembalikan pada isi dalil.
4)      Yang dikembalikan pada diluar ketiga diatas.[7]

3.      Jalan-jalan tarjih
a.       Yang berlaku pada dalil manqul:
1)        Mentarjih dalam hal sanad adalah, memilih sanad yang lebih kuat dengan beberapa jalan:[8]
(a)    Yang kembali kepada diri perawi:
(1)          Dipilih sanad yang lebih banyak orang meriwayatkannya, karena jumlah perawi yang banyak jumlahnya dalam meriwayatkan akan menguatkan keyakinan tentang kebenarannya.
(1)   Dipilih sanad orang-orang yang lebih mengerti tentang maksud hadis yang diriwayatkan. Kemasyuran tsiqah seorang perawi dimenangkan diri dari yang tidak.
(2)   Perawi yang lebih wara’ dan taqwa dimenangkan dari yang kurang.
(3)   Yang telah mengamalkan yang diriwayatkan lebih diutamakan dari yang menyelisihinya.
(4)   Perawi yang menghayati langsung masalah yang diriwayatkan dimenangkan dari yang tidk.
(5)   Perawi yang lebih dekat hubungannya dengan Nabi Muhammad dimenangkan dari yang jauh.
(6)   Perawi yang termasuk kibarish sahabat diutamakan dari ynag shigaris shahabah.
(7)   Perawi yang lebih dulu masuk islamnya dimenangkan dari yang kemudian.
(8)   Perawi yang mendengar ucapan hafalan langsung lebih diutamakan dari yang hanya menerima dari tulisan.
(9)     Perawi yang menerina kabar sesudah baligh diutamakan dari yang menerimanya sebalum baligh.[9]

(b)      Yang kembali pada tadzkiyah perawi:
a)      Yang menganggap baik lebih banyak dimenangkan dari yang sedikit.
b)      Yang menganggap baik dengan tegas diutamakan dari yang tidak.
c)      Pensucian perawi dengan menggunakan kata penaksiran dimenangkan dari yang hanya dengan kata periwayatan saja.
d)     Penilaian yang mengamalkan apa yang diriwayatkan diutamakan dari yang tidak.[10]
(c)      Yang kembali pada periwayatan:
a)      Riwayat yang mutawir didahulukan atas riwayat ahad.
b)      Musnad dimenangkan dari mursal.
c)      Hadisyang diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim dimenangkan dari yang lain.
d)     Yang diriwayatkan atas yang didengar dari gurunya, diutamakan dari yang dibaca di depan gurunya.
e)      Yang disepakati marfu’nya dimenangkan dari yang diperselisihkan mauqufnya.
f)       Riwayat bil-lafdhi dimenangkan dari riwayat bil-makna.[11]

2)        Yang kembali pada matan, mentarjih dalam hal ini adalah memilih matan yang lebih kuat. Matan dititik beratkan pada lafadh dan makna:
a)    Bukan musyitarak didahulukan dari yang musyitarak.
b)   Hakikat didahulukan dari majaz.
c)    Kalau keluarnya musyitarak, yang lebih sedikit artinya didahulukan dari yang banyak artinya.
d)   Kalau keduanya majaz, pengertian yang manqul didahulukan dari yang maa’qul.
e)    Yang tidak memerlukan idhmar atau hazf didahulukan atas yang memerlukan.
f)    Kalau keduanya hakiki maka yang lebih masyur itu yang dipakai.
g)   Makna syar’I didahulukan atas makna lughawi.
h)   Yang ada mu’akad-nya didahulukan dari yang tidak.
i)     Manthuk didahulukan atas mafhum.
j)     Khash didahulukan atas ‘amm.

3)        Yang kembali pada isi dalil:
1)   Yang melarang didahulukan atas yang membolehkan.
2)   Yang melarang didahulukan atas yang mewajibkan.
3)   Yang mengandung hukum haram didahulikan atas yang makruh.
4)   Itsbat didahulukan atas nafyi.
5)   Yang mengandung ziyadah didahulukan atas yang tidak.
6)   Yang mengandung taklifi dimenangkan atas wadh’i.
7)   Yang meringankan didahulukan atas yang memberatkan.

4)        Tarjih sesuatu dalil berdasarkan yang lain dari hal-hal diatas:
1)   Yang cocok dengan dalil-dalil lain dimenangkan dari yang tidak.
2)   Yang mengandung apa yang diamalkan oleh ahli Madinah dimenangkan dari yang tidak.
3)   Yang ta’wilnya sesuai dimenangkan dengan yang tidak sesuai.
4)   Hukum yang ber’illat dimenangkan dari yang tidak.

b.         Yang berlaku pada dalil maa’qul:
1)   Yang kembali pada ashal
a)    Yang terjadi pada hukum:
(1)     Yang qath’i didahulukan dari yang dhanni.
(2)     Yang tidak diperselisihkan didahulukan dari yang tidak diperselisihan.
(3)     Hukum ashal yang illahnya ditunjukan oleh dalil dimenangkan dari yang tidak.[12]
b)   Yang terjadi pada illah, dibagi menjadi dua:
(1)     Pentarjihan dari segi cara penetapan illah:
(a) Menguatkan illah yang telah disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illah dari yang tidak demikian.
(b) Menguatkan illah yang dilakukan dengn cara as-sibru wa at-taqsim yang dilakukan para mujtahid.
(c) Menggunakan illah yang di dalamnya terdapat isyarat nash dari illat yang ditetapkan melalui munasabah (kkeserasian).


(2)     Pentarjihan dari sifat illat, antara lain:
(a) Menguatkan illat yang bisa diukur dari pada yang relatif.
(b) Menguatkan illat yang sifatnya bisa dikembangkan pada hukum lain dari pada yang terbatas pada satu hukum.
(c) Menguatkan illat yang berkaitan dengan masalah yang penting daripada yang bersifat hajjiyat (penunjang).
(d)Menguatkan illat yang jelas melatar belakangi suatu hukum, dari pada illat yang bersifat indicator terhadap latar belekang hukum.[13]

2)   Yang kembali pada fara’
a)    Fara’ yang timbulnya kemudian sesudah hukum, dimenangkan atas yang timbul sebelumnya.
b)   Fara’ yang illatnya tegas didahulukan dari yang tidak.
c)    Fara’ yang telah disebut secara global dalam nash diutamakan dari yang tidak.
3)   Tarjih yang kembali pada isi dalil qiyas dan sesuatu yang diluar ashal dan fara’, oleh ulama ushul disamakan dengan yang ada pada dalil manqul dalam masalah yang sama.
Demikianlah sebagian tarjih yang dipakai oleh ulama ushul dalam mentarjihkan dalil-dalil ta’arud yang menghendaki tarjih.
Dengan tarjih ini belum berarti bahwa persoalan ta’arudl adillah selesai, karena berdasarkan pemikiran masih ada kemungkinan dari dalil-dalil ta’arud tidak bisa dicari jalan tarjihnya, dalam hal ini hanya kepada dalil-dalil sunnah dan qiyas.kalau ada dalil As-Sunnah maupun Al-Qiyas yang tidak bisa dicari jalan keluar termasuk tarjih, maka keduanya ditawaqufkan, sesuai dengan kaidah:
اِذَاتَعَارَضَا تَسَا قَطَا
Artinya: “bila kedua dalil ta’arudl (maksudnya ta’arudl hakiki), keduanya jatuh martabatnya sebagai dalil.[14]

4.      Berlakunya Tarjih
Tarjih hanya berlaku dalam dalil yang berkekuatan zhanni, baik antara dua dalil naql seperti hadis Nabi dan ijma’, maupun antara duadalil ‘akli seperti qiyas. Tarjih tidak berlaku pada Al-Quran karena dia adalah dalil yang qath’iy.
Bila terjadi perbenturan antara sesama Sunnah Nabi, hal yang paling dapat dijadikan factor penentu dalam tarjih adalah:
a.       Kuantitas perawi, seperti dalil yang satu lebih banyak periwayatnya dari yang lain.
b.      Bentuk periwayatan, yang satu dalam bentuk mutawir sedangkan yang satu diriwayatkan secara perseorangan (ahad).
c.       Cara penilaian terhadap perawi, menyatakan seorang perawi itu adil.
d.      Keadaan yang diriwayatkan.
e.       Narasumber tempat menerima kabar.
f.       Kualitas matan dan teks.[15]

5.      Contoh Tarjih
Berikut ini dua riwayat yang harus ditarjihkan karena tampak bertentangan, yaitu:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّـهُ قَالَ تَزَوَّجُ رَسُولُ اللَّهِ مَيْمُونَـةَ وَهُوَ مَحْرُمٌ.(رواه مسلم)
“Dari Abu Abbas, bahwa ia berkata: “Rasulullah telah kawin dengan Maimunah, sedang nabi dalam ihram.” (HR. Muslim)
Dengan riwayat lain berbunyi:
عَنْ يَزِيْدِبْنِ اْلأَصَمِّ قَالَ: حَدَّ ثَـنِى مَيْمُو نَةُ بِنْتُ الْحَرِثِ أَنْ رَسُولَ اللّهِ تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلاَلٌ. (رواه مسلم)
“Dari Yazid bin Al Asam, ia berkata: Maimunah binti Al-Haris telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah kawin kepadanya, sedang beliau ihlal”. (HR. Muslim)
Riwayat pertama menyebutkan bahwa Nabi menikah dengan Maimunah adalah ketika Nabisedang ihram, sedang riwayat kedua mengatakan bahwa, Nabi sedang ihlal. Untuk mentarjihnya, mula-mula diperhatikan adalah:
a.         Dalam sanad yang pertama, Ibnu Abbas yang meriwayatkan perkawinan Maimunah sendiri yang menceritakan dirinya. Dalam hal ini tentu lebih dianggap kuat riwayat Maimunah.
b.         Riwayat kedua dilakukan pula oleh Abu Rafi’, yang menyatakan bahwa nabi kawin dengan Maimunah adalah dalam keadaan ihlal.
c.         Riwayat Maimunah dan Abu Rafi’, sesuai pula dengan hadis Nabi yang berbunyi:
لاَ يَنْكِـحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ.(رواه مسلم)
"Orang yang dalam ihram tidak boleh kawin dan tidak boleh mengawinkan. (HR. Muslim)"
Dengan demikian, maka riwayat yang pertamalah yang terpakai karena lebih kuat (rajin), cara demikian dinamakan Tarjih.[16]








BAB III
PENUTUP


1.         KESIMPULAN
Tarjih adalah mengunggulkan salah satu dalil atas dalil lain yang saling bertentangan. Hukum mengamalkan dalil yang tarjih adalah wajib, sedangkan mengamalkan dalil yang marjuh di samping adanya yang rajih tidak dibenarkan. Syarat-syarat tarjih adalah adanya persamaan antara dua dalil dan adanya persamaan dalam kekuatannya.        Adapun cara mentarjih dapat ditnjau dari segi sanad hadis, matan hadis, kandungan hadis dan hal-hal di luar hadis.
Jadi, tarjih dalam As-Sunnah adalah menguatkan salah satu dalil atas dalil yang lain dalam menyelesaikan masalah dengan menggunakan jalan-jalan tarjih yang ada dalam sannah.

















DAFTAR PUSTAKA


Amirudin, Zen. 2009. Ushul Fiqh. (Yogyakarta: Sukses Offset).

Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua. (Jakarta: Pranada Media Group)

Muchtar, Kamal. 1995. Ushul Fiqh. (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf).

Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group).

Syafe’i, Rachmat. 2000. Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung: Pustaka Setia).
                 
Uman, Chaerul. 1997. Ushul Fiqh. (Bandung: Pustaka Setia).

Umar, Muin. 1985. Ushul Fiqh. (Jakarta: IAIN Jakarta).
                                                  







[1] Cherul Uman, Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1997, hal. 203.
[2] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua, Jakarta: Pranada Media Group, 2010, hal. 202.
[3] Zen Amirudin, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Sukses Offset, 2009, hal. 327.
[4] Cherul Uman, Loc. Cit.
[5] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, hal. 88.
[6] Basiq Djalil, Op. Cit., hal.203.
[7] Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995, hal. 183.
[8] Basiq Djalil, Op, Cit., hal. 204.
[9] Muin Umar, Ushul Fiqh, Jakarta: IAIN Jakarta, 1985, hal. 185.
[10] Kamal Muchtar, Op. Cit., hal.184.
[11] Kamal Muchtar, Op. Cit., hal.185.
[12] Muin Umar, Op. Cit., hal. 186.
[13] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hal. 248-249.
[14] Muin Umar, Op. Cit., hal. 188.
[15] Amir Syarifudin, Op. Cit., hal. 89.
[16] Basiq Djalil, Op. Cit., hal. 205-206.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar