Minggu, 27 Desember 2015

MAKALAH ALIRAN DAN TOKOH PEMIKIRAN MU’TAZILAH



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Meskipun aliran Mu’tazilah pada era dewasa ini sulit ditemukan, pemikiran-pemikiran Mu’tazilah menurut hemat penulis sepertinya terus berkembang, tentunya dengan gaya baru dan dengan nama-nama yang cukup menggelitik dan mengelabui orang yang membacanya. Sebut saja  istilah Modernisasi Pemikiran, Sekulerisme, dan nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemikiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran yang bersumber dari akal pikiran semata.

Untuk itulah, pada kesempatan ini penulis mencoba untuk membahas tentang asal usul aliran Mu’tazilah berikut prinsip-prinsip pemikiran mereka agar kita dapat mengetahui secara jelas apakah aliran ini memang dapat diterima atau malah menyimpang dari ajaran agama Islam. Namun pada pembahasan ini, penulis sengaja tidak banyak memaparkan bentuk bantahan-bantahan terhadap aliran Mu’tazilah ini, karena tujuan utama makalah ini hanya sekedar memperkenalkan prinsip-prinsip aliran tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Mu’tazilah ?
2.      Bagaimana asal-usul kemunculan Mu’tazilah ?
3.      Apa saja prinsip-prinsip ajaran Mu’tazilah ?
4.      Siapa Tokoh-Tokoh Mu’tazilah ?
5.      Bagaiman kemunduran Mu’tazilah ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mu’tazilah
1.      Secara Bahasa
Kata Mu’tazilah berasal dari kata ‘azala, ya taziluhu’, azlan, wa’azlahu, fa’tazala a-in’azala, wa ta’azzala yang artinya menyingkir atau memisahkan diri.[1]
2.      Secara Istilah
Mu’tazilah adalah sebuah sekte sempalan yang mempunyai lima pokok keyakinan (Al-Ushul Al-Khamsah), meyakini dirinya merupakan kelompok moderat diantara dua kelompok ekstrem yaitu murji’ah yang menganggap pelaku dosa besar tetap sempurna imannya dan khawarij yang menganggap pelaku dosa besar telah kafir.[2]

B.     Asal Usul Kemunculan Mu’tazilah
Secara harfiah kata mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[3] Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (selanjutnya disebut  Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politk. khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah. Aisyah dan Abdullah bin Zubair. Golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah.[4]
Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
Pemberian nama Mu’tazilah berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di mesjid Basrah, datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al-Basri masih berfikir, Wasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Wasil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan pergi ke tempat lain dilingkungan mesjid. Disana Wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al-Basri berkata, “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna ).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.[5]
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amir bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnya karena ada pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar.[6]
Versi lain dikemukakan oleh Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al-Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah”.[7]
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al-Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain ).[8]
Teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, menerangkan bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dan Hasan Al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi.
Dengan demikian, kata I’tazala dan Mu’tazila telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dan Hasan Al-Basri, yang mengandung arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi pada zamanya.[9]
C.A. Nallino, seseorang oreintalis Itali, mengemukakan pendapat yang hampir sama dengan Ahmad Amin dan selaras dengan Mas’udi. Ia berpendapat bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya bukan berarti “memisahkan dari umat Islam lainnya” sebagaimana pendapat Asy-Syahrastani, Al-Baghdadi, dan Tasy Qubra Zadah. Nama Mu’tazilah diberikan kepada mereka karena mereka berdiri netral diantara Khawarij dan Murji’ah.[10]
Golongan Mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain seperti ahl al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-tawhid wa al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan.[11] Lawan Mu’tazilah memberi nama golongan ini dengan Al-Qadariyah karena mereka menganut faham free will and free act, yakni bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat. Mereka menamainnya juga Al-Mu’tazilah karena golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan. Mereka juga menamainnya dengan wa’diah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum Tuhan.
C.    Prinsip Ajaran Mu’tazilah
1.      Tauhid
Tauhid adalah dasar ajaran Islam yang pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan monopoli Mu’tazilah saja, tetapi ia menjadi milik setiap orang Islam. Hanya saja Mu’tazilah mempunyai tafsir yang khusus sedemikian rupa dan mereka mempertahankannya, sehingga mereka menamakan dirinya sebagai Ahlus Adli Wat Tauhid.
      Menurutnya, Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan jisim, bukan jauhar, bukan ‘aradl, tidak berlaku padanya masa, tidak mungkin mengambil ruang dan tempat, tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk yang menunjukan ketidakazalian-Nya, tidak terbatas, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak dapat dicapai dengan panca indera, tidak bisa dilihat dengan mata kepala tidak bisa digambarkan dengan akal fikiran. Tuhan Maha Mengetahui, berkuasa dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, orang yang berkuasa dan orang yang hidup. Tidak ada yang menolong-Nya dalam menciptakan apa yang diciptakan-Nya dan tidak membikin makhluk karena contoh yang telah ada sebelumnya.

2.      Adil
Keadilan berarti meletakan tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatannya. Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, karena kekuasan yang dijadikan Tuhan pada diri manusia. Tuhan tidak memerintah kecuali apa yang dilarang-Nya. Tuhan hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan berlepas diri dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya. Dengan dasar keadilan ini, Mu’tazilah menolak golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia dalam segala perbuatannya tidak mempunyai kebebasan, manusia dalam keterpaksaan.

3.      Janji Dan Ancaman
Tuhan berjanji akan memberi pahala dan mengancam akan menjatuhkan sikasaan, pasti dilaksanakan, karena Tuhan sudah menjanjikan demikian. Siapa yang berbuat baik maka dibalas dengan kebaikan dan sebaliknya mereka yang berbuat kejahatan akan dibalas dengan kejahatan pula. Tidak ada ampunan terhadap dosa besar tanpa taubat, sebagaimana tidak mungkin orang yang berbuat baik tidak menerima pahala.

4.      Tempat di Antara Dua Tempat
Washil Bin Atho’ mengatakan bahwa orang yang berdosa besar selain musyrik itu tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasik. Fasik terletak antara iman dan kafir.

5.      Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan taklif dan lapangan fiqih daripada lapangan tauhid. Di dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menerangkan masalah amal ma’ruf nahi munkar ini, anatara lain pada surat Ali Imran ayat 104 dan surat Luqman ayat 17. Prinsip ini harus dijalankan oleh setiap orang islam untuk menyiarkan agama dan mengambil bagian dari tugas ini. Sejarah menunjukan betapa gigihnya orang-orang Mu’tazilah itu mempertahankan islam, memberantas kesesatan-kesesatan yang tersebar luas pada permulaan Khilafah Bani Abbasiyyah, yang hendak mengahancurkan kebenaran Islam bahkan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dalam melaksanakan prinsip tersebut, meskipun terhadap sesama golongan Islam, sebagaimana yang pernah dialami golongan ahli Hadist dalam masalah Khalqul Qur’an.[12]

D.    Tokoh- Tokoh Mu’tazilah

Tokoh-tokoh Mu’tazilah banyak sekali. Tetapi sebagian saja yang disebutkan, yaitu yang nampak jelas peranannya dalam perkembangan aliran Mu’tazilah, baik berupa buah-fikiran maupun usaha lainnya.




1.         Wasil bin ‘Ata al-Ghazzal (80-131 H. atau 699 M).
Ia adalah pendiri aliran Mu’tazilah dan yang meletakan ajaran-ajaran yang lima yang menjadi dasar semua golongan Mu’tazilah. Kebanyakan pendapat-pendapatnya belum matang.
2.         Abu al Huzail al-Allaf (135-226 H atau 753-840 M).
Ia menjadi pemimpin aliran Mu’tazilah Basrah. Ian mempelajari buku-buku Yunani dan banyak terpengaruh dengan buku-buku itu. Karena dialah aliran Mu’tazilah mengalami kepesatan. Pendapat-pendapatnya adalah :
a)             Tentang aradl; dinamakan aradl bukan karena mendatang pada benda-benda, karena banyak aradl yang terdapat bukan pada benda, seperti waktu, abadi dan hancur. Ada aradl yang abadi dan ada yang tidak abadi.
b)            Menetapkan adanya bagian-bagian yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (atom).
c)             Gerak dan diam; benda yang bayak bagian-bagiannya bisa bergerak dengan satu bagian yang bergerak. Menurut mutakallimin, hanya bagian itu sendiri yang bergerak.
d)            Hakekat manusia; hakekatnya adalah badannya dan jiwannya (nafs atau rukh).
e)             Gerak penghuni surga dan neraka; gerak-gerik mereka akan berakhir dan menjadi ketenangan (diam). Di dalam ketenangan ini terkumpul semua kesenangan dan siksaan.
f)             Qadar; manusia bisa mengadakan perbuatan-perbuatannya di dunian, akan tetapi kalau sudah berada di akhirat tidak berkuasa lagi.
g)            Khabar tentang sesuatu yang dapat dicapai panca indra hanya bisa diterima apabila diberitakan oleh 20 orang sekurang-kurangnya, seorang diantaranya ahli sorga (maksudnya golongan Mu’tazilah).

3.         Ibrahim bin Sayyar An-Nazzam (wafat 231 H atau 845 M).
Ia adalah murid Abdul-Huzail al-Allaf, orang terkemuka, lancar bicara, banyak mendalami filsafat dan banyak karangannya. Ketika kecil, ia banyak bergaul dengan orang-orang bukan dari golongan Islam. Dan sesudah dewasa banyak berhubungan dengan filosof-filosof masanya. Beberapa pendapatnya berlainan dengan orang-orang Mu’tazilah lainnya.
4.         Mu’ammar bin ‘Abbad as-Sulmay (wafat 220 H/835 M).
Banyak terpengaruh oleh filosof-filosof, terutama tentang sifat-sifat Tuhan.
5.         Bisyr bin Al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M).
Pendapatnya adalah siapa yang taubat dari suatu dosa besar kemudian mengerjakan dosa besar lagi, ia akan menerima siksa yang perama juga, sebab taubatnya dapat diterima dengan syarat tidak mengulangi lagi. Dengan kata lain, siksanya akan berlipat ganda.
6.         Jahiz, Amr bin Bahr (wafat 255 H/808 M).
Ia terkenal tajam penanya, banyak karangannya dan gemar membaca buku-buku filsafat, terutama filsafat alam.
Karangan-karangannya yang masih ada hanyalah yang bertalian dengan kesusasteraan.[13]

E.     Kemunduran Golongan Mu’tazilah

     Setelah beberapa puluh tahun lamanya golongan Mu’tazilah mencapai kepesatan dan kemegahannya, akhirnya mengalami kemunduran. Kemunduran ini sebenarnya karena perbuatan mereka sendiri. Mereka hendak membela/memperjuangkan kebebasan berfikir akan tetapi mereka sendiri memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka. Puncak tindakan mereka ialah ketika Al-Ma’mun menjadi khalifah dimana mereka dapat memaksakan pendapat dan keyakinan mereka kepada golongan-golongan lain dengan menggunakan kekuasaan Al-Ma’mun.
     Akan tetapi persengketaan tersebut dapat dibatasi dengan tindakan Al-Mutawakkil, lawan golongan Mu’tazilah, untuk mengembalikan kekuasaan golongan yang mempercayai keazlian Al-Quran.
Akan tetapi, mundurnya golongan Mu’tazilah sebagai golongan yang teratur tidak menghalang-halangi lahirnya simpatisan dan pengikut-pengikut yang setia yang menyiarkan ajaran-ajarannya.
     Kalau pemikiran islam pada Mu’tazilah bercorak rationalis murni, maka pada masa sesudahnya berubah coraknya sedemikian rupa, sehingga bisa diterima sebagai alat memperkuat ajaran-ajaran agama dan tali penghubung taklid-buta yang memerangi teguh tex-tex/nas dengan pentakwilan nas sebagai jalan untuk menundukan agama kepada akal-fikiran semata-mata.[14]









BAB III
KESIMPULAN

Aliran Mu’tazilah yang selalu membawa persoalan-persoalan teologi banyak memakai akal dan logika sehingga mereka dijuluki sebagai “kaum rasionalis Islam“. Penghargaan mereka yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan pendapat di kalangan mereka sendiri, hal ini disebabkan keberagaman akal manusia dalam berfikir. Bahkan perbedaan tersebut telah melahirkan sub-sub sekte (aliran) mu’tazilah baru yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.











DAFTAR PUSTAKA

Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Alyanur, 2010, Dirasatul Firaq, Solo : Pustaka Arafah
Lisanul Arab 11/440, Al-Misbahul Munir
Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, Darul Kitab Al-Arabi, cet.X, Beirut.t.t,
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1995)
Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, tp., Kairo, 1951
Abu Mansur Al-Baghdadi, Al-Farq bain Al-Firaq, Maktabah Subeih, Kairo
Ahmad Mahmud Subhi, Fi’ilm Al-Kalam,ttp.., Kairo, 1969
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah, Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI Press, 1986)
Abd Ar-Rahman Badawi, At-Turas Al-Yunani fi Al-Iladarah Al-Islamiyah,ttp. kairo, 1965
Al-Nasysyar, Nisy’ah Al-Fikr Al-Falsafi fi Al-Islam, (Kairo, tp 1996)
Nasir Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1996)
A. Hanafi, Theologi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1962)


[1] Lisanul Arab 11/440, Al-Misbahul Munir. 1/57.
[2] Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Alyanur, Dirasatul Firaq, (Solo : Pustaka Arafah,2010),hal.126.
[3] Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, Darul Kitab Al-Arabi, cet.X, Beirut.t.t, hal 207.
[4] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), hal.17.
[5] Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, tp., Kairo, 1951, hal. 48.
[6] Abu Mansur Al-Baghdadi, Al-Farq bain Al-Firaq, Maktabah Subeih, Kairo, hal. 20 dan 21.
[7]Ahmad Mahmud Subhi, Fi’ilm Al-Kalam,ttp.., Kairo, 1969, hal.75.
[8] Ibid..,hal.76.
[9] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah, Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI Press, 1986), hal.
[10] Abd Ar-Rahman Badawi, At-Turas Al-Yunani fi Al-Iladarah Al-Islamiyah,ttp..kairo,1965, hal.185.
[11] Al-Nasysyar, Nisy’ah Al-Fikr Al-Falsafi fi Al-Islam, (Kairo, tp 1996), hal.429
[12] Nasir Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal.112
[13] A. Hanafi, Theologi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1962), hal. 61-64.
[14] Ibid…, hal. 64-65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar