Selasa, 01 Desember 2015

PERADABAN ISLAM MASA KHULAFA’ AL-RASYIDIN



PEMBAHASAN

PERADABAN ISLAM PADA MASA KHULAFA’ AL-RASYIDIN


Wafatnya Nabi Muhammad sebagai pemimpin agama maupun Negara menyisahkan persoalan politik. Nabi tidak meninggalkan wasiat kepada seorang pun sebagai penerusnya. Akibatnya, para sahabat mempermasalahkan dan saling berusaha untuk mengajukan calon pilihan dari kelompoknya. Ahmad Amin mencatat sedikitnya ada 3 kelompok yang berkeinginan menjadi penerus nabi, yaitu:

No
Kelompok
Calon
Sebab
1
Ahl Bait
Ali bin Abi Thalib
Karena yang paling berhak adalah para ahl-bait Rasulullah sendiri.
2
Anshar
Sa’ad bin Ubadah
Golongan Anshar merupakan golongan pelindung Nabi disaat Nabi teraniaya di Mekkah & beliau pun meninggal dalam keadaan puas terhadap Anshar.
3
Muhajirin
Abu Bakar Ash-Shidiq
Kaum Muhajirin merupakan kaum yang pertama mempercayai ajaran Nabi & selalu menemani beliau dalam suka & duka.[1]

Perselisihan tersebut berdampak pada tertundanya pemakaman Rasulullah setelah terjadinya peristiwa saqifah dimana Abu Bakar di bait sebagai penerus nabi. Masa Kulafa’ al-Rasyidin merupakan masa keemasan, dimana pemerintahan dijalankan seperti halnya pemerintahan masa Nabi. Indikator yang dapat dilihat adalah:
a.         Pembentukannya dengan suara rakyat.
b.         Kepala Negara merupakan pilihan rakyat.
c.         Pemerintahan dijalankan dengan musyawarah.
d.        Kedaulatan hukum Illahi diaplikasikan dalam kehidupan bernegara, sehingga terdapat keyakinan bahwa segala gerak-gerik dipertanggungjawabkan kepada Allah.
e.         Kekuasaan pemerintah tidak didominasi oleh satu kelompok ataupun golongan.[2]

A.          Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/ 632-634 M)
Abu Bakar, nama lengkapnya ialah Abdullah bin Abi Quhafa At-Tamimi. Di zaman pra Islam bernama Abdul Ka’bah, kamudian diganti oleh Nabi menjadi Abdullah. Ia termasuk salah seorang sahabat yang utama. Dijuluki Abu Bakar karena dari pagi-pagi betul (orang yang paling awal) memeluk agama Islam. As-Shiddiq diperolehnya karena ia dengan segera membenarkan Nabi dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’ dan Mi’raj. Rasulullah mempercayainya sebagai pengganti untuk menangani tugas-tugas keagamaan atau mengurusi persoalan-persoalan aktual di Madinah.[3]
Abu Bakar memangku jabatan khalifah selama dua tahun lebih sedikit, yang dihabiskannya terutama untuk mengatasi berbagai masalah dalam negeri yang muncul akibat wafatnya Nabi. Yang pertama kali menjadi perhatian khalifah adalah merealisasikan keinginan Nabi yang hampir tidak terlaksana, yaitu mengirimkan ekspedisi ke perbatasan Suriah di bawah pimpinan Usamah.[4]
Wafatnya Nabi mengakibatkan beberapa masalah bagi masyarakat muslim. Beberapa orang Arab yang lemah imannya justru menyatakan murtad. Dan mereka juga malakukan riddah, yaitu kegiatan pengingkaran terhadap Islam, dan beralih agama dari Islam ke kepercayaan semula. Oleh karena itu, khalifah dengan tegas melancarkan opersi pembersihan terhadap mereka. Pembersihan juga dilakukan untuk menumpas nabi-nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar zakat.[5]
Dalam memerangi kaum murtad, dari kalangan kaum muslimin banyak hafizh (penghafal Al-Quran) yang tewas. Umar cemas jika angka kematian itu bertambah, yang berarti beberapa bagian dari Al-Quran akan musnah. Oleh karena itu, ia menasehati Abu Bakar untuk membuat suatu “kumpulan” Al-Quran.
Sesudah memulihkan ketertiban di dalam negeri, Abu Bakar lalu mengalihkan perhatiannya untuk memperkuat perbatasan dengan wilayah Bizantium dan Persia. Sedangkan ke Syiria, yang di kuasai Romawi Timur (Bizantium), Abu Bakar mangutus empat panglima, yaitu Abu Ubaidah, Yazid bin Abi Sufyan, Amr bin Ash dan Syurahbil.[6]
Khalifah Abu Bakar meninggal dunia, pada hari Senin, 23 Agustus 624 M setelah lebih kurang selama 15 hari berbaring di tempat tidur. Ia berusia 63 tahun dan kekhalifahannya berlangsung 2 tahun 3 bulan 11 hari.[7] Sementara itu, barisan depan umat Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan kerajaan Hijrah. Ia digantikan oleh “tangan kanan” nya, Umar bin Khathab. Pengangkatan Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam.[8]

B.            Umar bin Khathab (13-23 H/ 634-644 M)
Umar bin Khathab nama lengkapnya adalah Umar bin Khathab bin Nufail keturunan Abdul Uzza Al- Quraisy dari suku Adi; salah satu suku yang terpandang mulia. Umar dilahirkan di Mekkah empat tahun sebelum kelahiran Nabi SAW. Ia adalah seorang yang berbudi luhur, fasih dan adil serta pemberani.[9]
Ketika Umar telah menjadi khalifah, ia berkata kepada umatnya: “Orang-orang Arab seperti halnya seekor unta yang keras kepala dan ini akan bertalian dengan pengendara dimana jalan yang akan dilalui, dengan nama Allah, begitulah aku akan menunjukan kepada kamu ke jalan yang harus engkau lalui. Umar bin Khathab menyebut dirinya “Khalifah Khalifati Rasulillah” (pengganti dari pengganti Nabi). Ia juga mendapat gelar Amir Al-Mukmin (komandan orang-orang beriman) sehubungan dengan penaklukan-penaklukan yang berlangsung pada masa pemerintahannya. Khalifah Umar menganggap bahwa tugasnya yang pertama iaalah mensukseskan ekspedisi yang dirintis oleh pendahulunya. Belum genap satu tahun memerintah, Umar telah menorehkan tinta emas dalam sejarah perluasan wilayah kekuasaan. Pada tahun 635 M, Damaskus yang merupakan ibukota Syiria ditundukkan, setahun kemudian seluruh wilayah Syiria jatuh ke tangan kaum muslimin, setelah pertempuran hebat di lembah Yarmuk di sebelah timur anak sungai Yordania.[10]
Dari Syiria, pasukan kaum muslimin melanjutkan langkah ke Mesir dan membuat kemenangan-kamenangan di wilayah Afrika bagian utara. Tahun 18 H pasukan muslimin mencapai kota Aris dan mendudukinya tanpa perlawanan. Kemidian menundukan Pelisium (Al-Farama), pelabuhan di pantai laut tengah dan merupakan pintu gerbang ke Mesir. Satu per satu kota-kota Mesir dapat di taklukkan oleh pasukan muslimin. Kota Babilon di tundukan pada tahun 20 H setelah 7 bulan terkepung. Iskandariah dikepung selama empat bulan sebelum ditaklukkan di bawah pimpinan Ubadah bin Samit. Cyrus, pemimpin Romawi di Mesir mengajak damai dengan pasukan muslimin dan kemudian menandatangani perjanjian damai dengan kaum muslimin. Dengan jatuhnya Iskandariah ke tangan kaum muslimin, maka sempurnalah penaklukkan atas Mesir. Ibukota negeri itu kemudian dipindahkan ke kota baru yang bernama Fustat yang di bangun oleh ‘Amr bin Ash pada tahun 20 H. Masjid ‘Amr masih berdiri tegak di pinggiran kota Kairo hingga kini sebagai saksi sejarah.[11]
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi Negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah provinsi: Mekkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir.[12]
Khalifah Umar ahli dalam menentukan hukum, jenius dalam menata lembaga pemerintahan, lihai dalam menghadapi masalah baru yang belum pernah timbul pada masa Rasulullah dan Abu Bakar.[13] Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan tahun Hijrah.[14]
Khalifah Umar memerintah selama 10 tahun lebih 6 bulan 4 hari. Kematiannya sangat tragis, seorang budak bangsa Persia bernama Fairuz atau Abu Lu’lu’ah secara tiba-tiba menyerang dengan tikaman pisau tajam kearah khalifah yang akan mendirikan shalat subuh yang telah ditunggu oleh jama’ahnya di masjid Nabawi.[15] Untuk menentukan penggantinya, Umar menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah  seorang diantaranya untuk menjadi khalifah. Enam orang tersebut ialah Ustman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abdurrahman ibn ‘Auf. Kemudian tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman bin Affan sebagai khalifah.[16] Khalifah Umar meninggal tiga hari setelah peristiwa penusukkannya, yakni 1 Muharam 23 H/644 M.[17]

C.           Utsman bin Affan (23-36 H/644-656 M)
Utsman bin Affan, nama lengkapnya ialah Utsman bin Affan bin Abil Ash bin Umayyah dari suku Quraisy. Ia memeluk Islam karena ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang sahabat dekat Nabi SAW. Ia sangat kaya tapi berlaku sederhana, dan sebagian kekayaannya digunakan untuk kepentingan Islam. Ia mendapat julukan zun nurain, artinya yang memiliki dua cahaya, karena menikahi dua puteri nabi secara berurutan setelah yang satu meninggal. Umar menyumbang 950 ekor unta dan 1.000 dirham dalam ekspedisi untuk melawan Bizantium di perbatasan Palestina.[18]
Pada masa awal pemerintahannya, Utsman melanjutkan sukses para pendahulunya, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam. Di Mesir pasukan muslim diinstruksikan untuk memasuki Afrika Utara. Salah satu pertempuran penting di sini ialah “Zatis Sawari” (perang tiang kapal) yang terjadi di Laut Tengah dekat kota Iskandariyah, antara tentara Romawi di bawah pimpinan Kaisar Constantin dengan Laskar Muslim pimpinan Abdullah bin Sarah. Dinamakan perang kapal karena banyaknya kapal-kapal perang yang di gunakan dalam peperangan. Disebutkan terdapat 1.000 buah kapal, dan 200 buah kapal milik kaum muslimin sedangkan sisanya milik bangsa Romawi. Pasukan Islam berhasil mengusir pasukan lawan. Karya momental Utsman lain yang dipersembahkan kepada umat Islam ialah penyusanan kitab suci Al-Quran. Penyusunan Al-quran dimaksudkan untuk mengakhiri perbedaan-perbedaan serius dalam bacaan Al-quran.[19]
Pemerintahan Utsman berlangsung 12 tahun. Utsman memang sangat berbada dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin kerena umurnya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut. Setelah melawati saat-saat yang gemilang, pada paruh terakhir masa pemerintahannya, khalifah Utsman menghadapi berbagai pemberontakan dan pembangkangan di dalam negeri yang dilakukan oleh orang-orang yang kecewa terhadap tabiat khalifah dan beberapa kebijaksanaan pemerintahannya. Utsman terpilih karena sebagai calon yang konservatif, ia adalah orang yang baik dan saleh. Namun, dalam banyak hal kurang menguntungkan, karena Utsman terlalu terikat dengan kepentingan-kepentingan orang Mekkah, khususnya kaum Quraisy dari kalangan Bani Umayyah. Kemenangan Utsman sekaligus adalah suatu kesempatan yang baik bagi sanak saudaranya dari keluarga besar Bani Umayyah.
Kelemahan dan nepotisme telah membawa khalifah kepuncak kebencian rakyat, yang pada beberapa waktu kemudian menjadi pertikaian yang mengerikan dikalangan umat Islam. Situasi politik di akhir masa pemerintahannya benar-benar semakin mencengkam. Bahkan juga berbagai usaha yang bertujuan baik dan mempunyai alasan kuat untuk kemasalahatan umat disalahpahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat. Pada saat menjabat khalifah, justru Utsman jatuh miskin. Selain karena harta yang ia miliki digunakan untuk membantu sanak familinya, juga karena seluruh waktunya dihabiskan untuk mengurusi permasalahan kaum muslimin, sehingga tidak ada lagi kesempatan mengumpulkan harta seperti di masa sebelum menjadi khalifah.[20]
Rasa tidak puas terhadap khalifah semakin besar dan menyeluruh. Pemberontakan yang terjadi di Mesiar berhasil mengusir gubernur yang di angkat khalifah, lalu mereka yang terdiri dari 600 orang Mesir itu berarak-arak menuju ke Madinah. Para pemberontak dari Basrah dan Kufah bertemu dan menggabungkan diri dengan kelompok dari Mesir. Di tengah perjalanan para pemberontak menemukan surat yang di bawa oleh utusan khusus yang menerangkan bahwa para wakil itu harus dibunuh setelah sampai di Mesir. Menurut mereka surat itu ditulis oleh Marwan bin Hakam, sekretaris khalifah, sehingga mereka meminta Marwan diserahkan kepada para pemberontak. Tuntutan itu tidak dipenuhi oleh khalifah. Akhirnya, mereka mengepung rumah khalifah, dan membunuhnya ketika khalifah Utsman sedang membaca Al-Quran pada tahun 35 H/17 Juni 656 M.[21]
D.           Ali bin Abi Thalib (36-41 H/656-661 M)
Ali adalah keponakan dan menantu Nabi. Ali adalah putra Abi Thalib bin Abdul Muthalib. Ia adalah sepupu Nabi SAW yang telah ikut bersamanya sejak bahaya kelaparan mengancam kota Mekkah, demi untuk membantu keluarga pamannya yang mempunyai banyak putra. Ia telah masuk Islam pada usia sangat muda. Ketika Nabi menerima wahyu yang pertama, menurut Hasan Ibrahim Hasan Ali berumur 13 tahun, atau 9 tahun menurut Mahmudunnasir. Ia menemani nabi dalam perjuangan menegakkan islam, baik di Mekah maupun Madinah, dan ia dijadikan menantu oleh Nabi dengan menikahkannya dengan Fatimah, salah satu putri Rasulullah, dan dari sinilah keturunan Nabi berkelanjutan.[22]
Ali adalah seorang yang memiliki banyak keahlian dalam bidang hukum, juga tafsir.[23] Pribadinya penuh vitalitas dan energik, perumusan kebijakan dengan wawasan yang jauh ke depan. Ia adalah pahlawan yang gagah berani, penasihat yang bijaksana, penasihat hukum yang ulung, dan pemegang teguh tradisi, seorang sahabat sejati, dan seorang lawan yang dermawan. Ia telah bekerja keras sampai akhir hayatnya dan merupakan orang kedua yang berpengaruh setelah Muhammad.[24]
Ali memerintah hanya enam tahun.[25] Tugas pertama yang dilakukan khalifah Ali ialah menghidupkan cita-cita Abu Bakar dan Umar, menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah di bagikan oleh Utsman kepada kaum kerabatnya ke dalam kepemilikan Negara. Ali juga segera menurunkan semua gubernur yang tidak di senangi rakyat. Utsman bin Hanif di angkat menjadi penguasa menggantikan Ibnu Amir, dan Qais bin Sa’ad dikirim ke Mesir untuk menggantikan gubernur negeri itu. Gubernur Suriah, Muawiyah, juga diminta meletakan jabatan, tetapi ia menolak perintah Ali, bahkan ia tidak mengakui kekhalifahannya.[26]
Oposisi terhadap khalifah secara terang-terangan dimulai oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Alasan mereka, karena Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zalim.[27] Tuntutan yang sama juga diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan legalitas Ali.
Akan tetapi, tuntutan mereka tidak mungkin dikabulkan oleh Ali. Pertama, karena tugas utama yang mendesak dilakukan dalam situasi ktitis yang penuh intimidasi seperti saat itu ialah memulihkan ketertiban kekhalifahan. Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah, khalifah Utsman tidak di bunuh oleh hanya satu orang, melaikan banyak orang dari Mesir, Irak, dan Arab secara langsung terlibat dalam perbuatan tersebut.[28]
Khalifah Ali mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran dahsyat pun terjadi. Perang ini di kenal dengan “Perang Jamal” (Unta) yang terjadi pada tahun 36 H, karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh katika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.[29]
Segera sesudah menyelesaikan gerakan Thalhah dan kawan-kawan, pusat kekuasaan Islam dipindahkan ke kota Kufah. Dengan dikuasainya Sirya oleh Muawiyah, yang secara terbuka menentang Ali, memaksa khalifah untuk bertindak. Pada tahun 37 H terjadilah pertempuran antara pasukan Ali dengan pasukan Muawiyah di kota tua Siffin, dekat sungai Eufrat. Ali mengerahkan 5.000 pasukan, sedangkan Muawiyah dalam posisi terdesak karena 7.000 pasukannya telah terbunuh, akhirnya ia mengangkat Al-Quran sebagai tanda damai dengan cara Tahkim. Dalam tahkim tersebut khalifah dan Muawiyah harus meletakkan jabatan, pemilihan khalifah baru harus dilaksanakan. Abu Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah. Akan tetapi, Amr bin Ash berlaku sebaliknya, yaitu mengangkat Muawiyah sebagai khalifah, karena Ali telah diturunkan oleh Musa. Perang Siffin yang di akhiri dengan tahkim (arbitrase), ternyata tidak menyelesaikan masalah, kecuali menegaskan bahwa gubernur yang maker itu mempunyai kedudukan yang setingkat dengan khalifah, dan menyebabkan lahirnya golongan Khawarij, yang berjumlah kira-kira 12.000 orang.
Karena kekuatannya telah banyak melemah, terpaksa khalifah Ali menyetujui perjanjian damai dengan Muawiyah. Tepat pada 17 Ramadhan 40 H (661 M), khalifah Ali terbunuh, pembunuhnya adalah Ibnu Muljam, seorang anggota Khawarij yang sangat fanatik. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (661 M) masa pemerintahan khalifah Ali berakhir.[30]
KESIMPULAN


Setelah Nabi wafat pkepeminpinan digantikan oleh empat sahabatnya, yang dimulai dari Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.
Abu Bakar memangku jabatan khalifah selama dua tahun lebih sedikit, yang dihabiskannya terutama untuk mengatasi berbagai masalah dalam negeri yang muncul akibat wafatnya Nabi.
Khalifah Umar memerintah selama 10 tahun lebih 6 bulan 4 hari. Khalifah Umar ahli dalam menentukan hukum, jenius dalam menata lembaga pemerintahan, lihai dalam menghadapi masalah baru yang belum pernah timbul pada masa Rasulullah dan Abu Bakar.  Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan tahun Hijrah. Kematiannya sangat tragis, seorang budak bangsa Persia bernama Fairuz atau Abu Lu’lu’ah secara tiba-tiba menyerang dengan tikaman pisau tajam kearah khalifah yang akan mendirikan shalat subuh.
Pemerintahan Utsman berlangsung 12 tahun. Karya momental Utsman lain yang dipersembahkan kepada umat Islam ialah penyusanan kitab suci Al-Quran.
Ali memerintah hanya enam tahun. Ali adalah seorang yang memiliki banyak keahlian dalam bidang hukum, juga tafsir. Pribadinya penuh vitalitas dan energik, perumusan kebijakan dengan wawasan yang jauh ke depan. Ia adalah pahlawan yang gagah berani, penasihat yang bijaksana, penasihat hukum yang ulung, dan pemegang teguh tradisi, seorang sahabat sejati, dan seorang lawan yang dermawan. Namun pada masa kekhalifahannya telah terjadi dua perang yang besar yaitu “Perang Jamal dan Perang Siffin”.




DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Istianah. 2008. Sejarah Peradaban Islam. (Malang : UIN-Malang Press).
Munir Amin, Samsul. 2009. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: AMZAH).
Sunanto, Musryfah. 2003. Sejarah Islam Klasik.I (Jakarta: Pranada Media).
Yatim, Badri. 2010. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada).


[1]               Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal.27.
[2]               Ibid., hal.8.
[3]               Samsul Munir Amin, sejarah peradaban islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hal.93.
[4]               Ibid.,hal. 94.
[5]               Ibid., hal. 95.
[6]               Ibid., hal. 97.
[7]               Ibid., hal. 98
[8]               Badri Yatim, Seiarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2010), hal.36.
[9]               Samsul Munir Amin, op. cit., hal.98.
[10]             Ibid…, hal. 99.
[11]             Ibid…, hal. 100
[12]             Badri Yatim, op. cit., hal. 37.
[13]             Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Pranada Media, 2003), hal. 21.
[14]             Badri Yatim, op. cit., hal. 38.
[15]             Samsu Munir Amin, op. cit., hal. 103.
[16]             Badri Yatim, op. cit., hal. 38.
[17]             Samsu Munir Amin, op. cit., hal. 104.
[18]             Ibid., hal. 105.
[19]             Ibid., hal.106.
[20]              Ibid., hal. 107.
[21]             Ibid., hal. 108.
[22]             Ibid., hal 109.
[23]             Musryfah Sunanto, op. cit., hal. 22.
[24]             Samsu Munir Amin, op. cit., hal. 109.
[25]              Badri Yatim, op. cit., hal. 39.
[26]             Samsu Munir Amin, op. cit., hal. 110.
[27]             Badri Yatim, op. cit., hal. 40.
[28]             Samsu Munir Amin, op. cit., hal. 111.
[29]              Badri Yatim, op. cit., hal. 40.
[30]             Samsu Munir Amin, op. cit., hal. 112.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar