Kamis, 03 Desember 2015

FILSAFAT HELLENISME



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kata filsafat atau falsafat berasal dari bahasa Arab “falsafah” berarti “diturunkan” dari kata Yunani “philosophia” yang merupakan kata gabungan dari kata “philein” yang berarti “mencintai” atau “philia” yang berarti “cinta” dan kata “sophia” yang berarti “kebijaksanaan”. Dengan demikian kata philosophia berarti mencintai atau cinta kepada kebijaksanaan.
Dari segi praktis, falsafat berarti alam “pikiran atau alam berfikir”. Berfilsafat artinya berfikir. Namun tidak semua berfikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Filsafat adalah hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain filsafat adalah ilmu yang berusaha mempelajari suatu sampai ke akar-akarnya, sistematika dan menyeluruh sehingga mendapatkan hakikat kebenaran dari sesuatu itu.
Pemikiran Filsafat mengalami perkembangan yang sangat pesat dan cepat menyebar ke berbagai wilayah dengan periode yang berbeda-beda seperti Filasafat Yunani, Filsafat Klasik, Filsafat Islam, sampai pada Filsafat Modern yang banyak ragam pemikirannya. Periode-periode tersebut mempunyai ciri dan corak masing-masing meskipun secara umum dari periode satu ke yang lainnya ada pemikiran yang bersentuhan. Di dalam Periode tersebut terdapat periode Hellenistik atau Hellenisme yang juga mempunyai cara pandang yang khas atau corak yang khusus.
B.     Rumusan Masalah
1.                   Apakah yang dimaksud filsafat Hellenisme?
2.                   Bagaimana ciri-ciri filsafat Yunani sebelum Islam?
3.                   Apa saja sifat-sifat menurut Plotinus?
BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT HELLENISME
A.           Pengertian Hellenisme
Helenis atau Helenisasi, berasal dari kata Yunani “Helen” (Istilah yang dipakai oleh orang Yunani untuk menyebutkan etnik mereka). Helenis juga digunakan untuk mendeskripsikan perubahan kultural di mana sesuatu yang bersifat bukan Yunani menjadi Yunani (peradaban Helenistik).[1]
B.            Filsafat Yunani Sebelum Islam
Sebelum lahirnya filsafat Islam, baik di dunia Timur maupun di dunia Barat telah terdapat berbagai macam alam pikiran, di antaranya yang terkenal ialah pikiran Mesir Kuno, Sumeria, Babilonia, Assyuria, Iran, India, Cina dan Yunani. Filsafat Yunani yang sampai kepada dunia Islam tidaklah seperti yang ditinggalkan oleh orang-orang Yunani sendiri, baik yang melalui orang-orang Masehi Nestoria dan Jakobites, maupun melalui golongan lain. Tetapi filsafat itu sampai kepada mereka yang sudah melalui pemikiran Hellenisme-Romawi yang mempunyai ciri khas dan corak tertentu yang sudah mempengaruhi filsafat itu. Karena itu tidak semua pikiran-pikiran filsafat yang sampai kepada Dunia Islam berasal dari Yunani, baik dalam teks-teks aslinya maupun ulasannya, melainkan hasil dari dua fase yang berturut-turut, yaitu “fase Hellenisme dan fase Hellenisme-Romawi”. Fase Hellenisme ialah fase dimana pemikiran filsafat hanya dimiliki orang-orang Yunani, yaitu sejak abad ke-6 atau ke-5 SM sampai akhir abad ke-4 SM. Fase Hellenisme-Romawi (Greko Romawi) ialah fase yang datang sesudah fase Hellenisme, dan yang meliputi semua pemikiran filsafat yang pada masa kerajaan Romawi, serta ikut membicarakan peninggalan pikiran Yunani, antara lain pemikiran Romawi di Barat dan pemikiran di Timur yang ada di Mesir dan Syiria. Fase ini di mulai dari akhir abad ke-4 SM sampai pertengahan abad ke-6 M di Bizantium dan Roma, atau sampai pertengahan abad ke-7 M di Iskandariyah, abad ke-8 M di Syiria dan Iran.

1.      Ciri khas fase Hellenisme
Filsafat Yunani bukanlah hasil ciptaan filosof-filosof  Yunani semata-mata, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai saingan dari kebudayaan Yunani sebelum masa berfilsafat, karena filsafat di Yunani mula-mula dimaksudkan untuk melepaskan diri dari kekuasaan golongan-golongan agama bersahaja dengan jalan menguji ajarannya. Apa yang dibenarkan  oleh akal pikiran dinamakan filsafat, dan apa yang tidak dapat diterima oleh akal pikiran dimaksudkan dalam cerita-cerita agama. Karena di dalam filsafat Yunani terdapat unsur-unsur agama bersahaja, antara lain kepercayaan tentang adanya banyak zat yang membekasi alam dan yang menjadi sumber segala peristiwa meskipun dalam bentuk yang berbeda, karena zat yang bebilang dalam agama itu dinamakan “dewa-dewa”, sedang dalam fisafat disebut “akal benda-benda langit”, sebagai mana yang kita lihat antara akal bulan dan akal manusia.
Api Heraclitus yang dianggap sebagai asal kejadian alam, boleh jadi karena pengaruh pemujaan api yang terkenal oleh agama-agama Iran pada umumnya dan yang sampai di Yunani sesudah adanya pertemuan antara Barat dengan Timur. Ciri kedua ialah ketidak-selarasan, karena filsafat ini mula-mula terdiri dari bermacam-macam soal yang tidak selaras. Orang-orang yang mempunyai pemikiran filsafat yang sistematis, seperti Plato dan Aristoteles, juga tidak terhindar dari ketidak-selarasan ini. Karena dalam menguraikan sesuatu persoalan filsafat, mereka masih terpengaruh oleh pikiran orang sebelumnya, dengan segala macam perbedaannya yang mengandung ketidak-selarasan.
Teori Ide dari Plato merupakan usaha pemaduan antara dua pemikiran yang berlawanan. Heraclitus dan pengikutnya mengatakan bahwa segala sesuatu selalu berubah (perpetual flux,panta rhei), dan pendapat ini dirubah oleh Pytagoras menjadi ajaran yang mengatakan bahwa “perorangan menjadi ukuran segala sesuatu”. Aristoteles mengatakan bahwa hanya zat yang ada dengan sendirinya dan tidak berubah-ubah itulah yang bisa menjadi objek perngetahuan. Meskipun Plato dan Aristoteles telah berhasi memadukan pikiran-pikiran filsafat sebelumnya, namun keduanya tidak dapat melarutkannya karena pikiran-pikiran filsafat tersebut bermacam-macam aliran dan berbeda-beda terhadap hidup dan ala ini. Aliran-aliran ini ialah:
1.        Aliran Tabii (natural philosophy) dengan Democritus sebagai tokohnya dan filosof-filosof Ionia, yang menghargai alam dan wujud benda setinggi-tingginya. Menurut aliran ini alam itu abadi.
2.        Aliran Ketuhanan yang mengakui zat-zat yang metafisik, diwakili oleh aliran Elea dan Socrates, yang mengatakan bahwa sumber alam indrawi adalah sesuatu yang berada diluarnya.
3.        Aliran Mistik dan Pythagoras sebagai tokohnya, yang bermaksud memperkecil atau mengingkari nilai alam indrawi, dan oleh karena itu aliran ini menganjurkan kepada manusia untuk meninggalkannya, serta menuju kepada alam yang penuh kesempurnaan, kebahagiaan, dan kebebasan.
4.        Aliran Kemanusiaan yang menghargai manusia setingi-tingginya, dan mengakui kesanggupannya untuk mencapai pengetahuan, serta menganggap manusia sebagai ukuran kebenaran.[2]


1.      CIRI KHAS HELLENISME-ROMAWI

Pada zaman Alexander Agung telah berkembang sebuah kebudayaan trans nasional yang disebut kebudayaan helenistis, karena kebudayaan Yunani tidak terbatas lagi pada kota-kota Yunani raja, tetapi mencakup juga seluruh wilayah yang ditaklukkan Alexander Agung. Dalam bidang filsafat, Athena tetap merupakan suatu pusat yang penting, tetapi berkembang pula pusat-pusat intelektual lain, terutama kota Alexanderia. Akhirnya ekspansi Romawi meluas sampai ke wilayah Yunani, karena kekaisaran Romawi pun pintu dibuka lebar untuk menerima warisan kultural Yunani. [3]
Masa Pertama, dimulai dari empat abad sebelum Masehi sampai pertengahan abad pertama sebelum Masehi. Aliran-alirannya ialah:
1.        Aliran Stoa (ar-Riwaqiyah) dengan Zeno sebagai pendirinya. Ia mengajarkan agar manusia jangan sampai bisa digerakkan oleh kegembiraan atau kesedihan dan menyerahkan diri tanpa syarat kepada suatu keharusan yang tidak bisa ditolak dan yang menguasai sesuatu.
2.        Aliran Epicure, dengan Epicurus sebagai pendirinya. Aliran ini mengajarkan bahwa kebahagiaan manusia merupakan tujuan utama.
3.        Aliran Skeptis (ragu-ragu) yang meliputi “aliran Phyro” dan aliran “Akademi Baru”. Aliran Skeptis mengajarkan bahwa untuk sampai kepada kebenaran, kita harus percaya dulu bahwa segala sesuatu itu tidak benar, kecuali sudah dapat dibuktikan kebenarannya.
4.        Aliran Elektika-Pertama (aliran seleksi). Suatu kecenderungan umum yang mengambil berbagai unsur, filsafat dari aliran-aliran lain tanpa berhasil mencapai suatu pemikiran yang sungguh-sungguh.


Masa Kedua, dimulai dari pertengahan abad pertama sebelum Masehi sampai pertengahan abad ketiga Masehi. Pemikiran pada masa ini ialah seleksi dan penggabungan, yaitu memilih beberapa fikiran filsafat kuno dan menggabungkan pikiran-pikiran itu satu sama lain, atau menggabungkan pikiran-pikiran itu di satu pihak dengan ketentuan agama dan tasawuf timur di lain pihak.

Aliran yang tedapat pada masa ini adalah:
1.      Aliran Peripatetik terakhir
2.      Aliran Stoa baru
3.      Aaliran Epicure baru
4.      Aliran Pythagoras
5.      Aliran Filsafat Yahudi dan Plato
Filsafat Heellenisme Yahudi adalah suatu pemikiran fisafat, dimana filsafat Yahudi dipertemukan dengan kepercayaan Yahudi, dengan jalan penggabungan salah satunya atau membuat susunan yang mengandung dua unser tersebut.

Masa Ketiga, dimulai dari abad ketiga Masehi sampai pertangahan abad keenam Masehi di Bizantium dan Roma, atau sampai pertengahan abad ketujuh atau kedelapan di Iskandariyah dan Timur Dekat (Asia Kecil). Pada masa ketiga ini mengenal aliran-aliran:
1.      Neo Platonisme
2.      Iskandariyah
3.      Filsafat di Asia Kecil yang tedapat di Anthiocia, Harran, ar-Ruha, dan Nissibis.
Aliran-aliran ini merupakan kegiatan terakhir menjelang timbulnya “aliran Bagdad” yaitu aliran filsafat Islam. Tokoh-tokoh aliran Iskandariyah adalah, Hermias, Stepanus, dan Yoannes Philoponos.
Neo Platonisme merupakan rangkaian terakhir dari fase Hellenisme-Romawi, yaitu fase mengulang yang lama dan bukan fase mencipta yang baru. Di dalamnya terdapat ciri-ciri filsafat Yunani yang kadang-kadang bertentangan dengan agama-agama langit, karena dasar filsafat tersebut ialah kepercayaan rakyat yang mempercayai sumber kekuasaan yang banyak. Dalam Neo Platonisme terdapat unsur-unsur Platonisme, Pythagoras, Aristoteles Stoa dan Tasawuf Timur.
Uberweg dalam bukunya Geschihte der Philosophie mengatakan bahwa aliran Neo Platonisme dimulai dari abad pertama Masehi dan berakhir pada pertengahan abad keempat Masehi, sedang menurut penulis lainnya barakhir pada pertengahan abad ketujuh Masehi. Menurut Uberweg, pertengahan abad kaempat sampai pertengahan abad katujuh Masehi adalah masa aliran Iskandariyah yang menggantikan Neo Platonisme. Perbedaan kedua aliran tersebut ialah:
1)      Neo Platonisme berkisar pada segi metafisika pada filsafat Yununi, yang boleh jadi dalam beberapa hal berlawanan dengan agama Masehi, sedang aliran Iskandariyah lebih condong kepada matematika serta ilmu alam dan meninggalkan lapangan metafisika, dan keadaan ini menyebabkan tidak adanya perlawanan dengan agama Masehi.
2)      Neo Platonisme lebih banyak mendasarkan pikirannya kepada seleksi dan pemanduan, sedang aliran iskandariyah lebih banyak mengadakan ulasan-ulasan terhadap pikiran-pikiran filsafat.
Ulasan-ulasan yang sampai kepada kaum muslimin datang dari aliran Iskandariyah dan aliran Hellenisme-Romawi. Jumlahnya ada tiga, yaitu:
a.       Ulasan dari golongan peripatetic dari masa sebelum Neo Platonisme, terutama dari Iskandariyah Aphrodisias.
b.      Ulasan dari aliran Neo Platonisme, terutama dari Porphyrius; mungkin ulasan ini dapat menjelaskan adanya usaha dari al-Farabi dan Ibnu Sina untuk mempertemukan agama dengan filsafat-filsafat.
c.       Ulasan dari orang-orang Iskandariayah seperti Hermias, Stephanus, dan Joannes Philoponos.
Aliran Neop Platonisme mempunyai tiga fase, yaitu fase aliran Plotinus dan muridnya, fase Siria dari Lamblichus, dan fase aliran Athena dari Plutarch dan Proches.
Plotinus mendasarkan filsafatnya kepeda dua dialektika (jalan), yaitu dialektika-menurun (a way down, al-jadal an-nazil) dan dialektika menaik (a way up,al-jadal as-sha-id). Dialektika menurun digunakan untuk menjelaskan “Wujud Tertinggi” (the Highest Being atau the First atau at-Tabiat al-Ula atau Wujud al-Awwal) dan cara keluarnya alam daripada-Nya. Plotinus juga terkenal dengan teorinya yang esa. Dialektika dipakai untuk menjelaskan soal-soal akhlak dan jiwa dengan maksud untuk menentukan kebahagiaan manusia.
Wihdat al Wujud dari Plotinus. Untuk menjelaskan ini Plato hendak menghubungkan antara alam azali dengan alam lahir atau antara alam rohani dengan alam materi. Ia menghubungkan keduanya dengan menggunakan teori Ide, dimana ia mengatakan adanya dua wujud, dimana yang satu menjadi pokok dan yang lain keluar menjadi bayangannya. Aristoteles dalam metafisiknya juga hendak menghubungkan kedua alam tersebut, untuk menghindarin kekurangan Plato ia menggunakan teori Form dan Matter (Shurah dan Maddah).[4]
Keadaan yang pertama (Yang Esa). Dalam istilah filsafat, yang dimaksud istilah “Yang Esa” dari Plotinus adalah  bahwa “Ia” menempati tingkatan tertinggi dari semua tingkatan wujud ini, yang dinamakannya “Yang Pertama” atau “Wujud yang tertinggi”. Karena keesaan-Nya yang mutlak, ia tidak bisa dikatakan “Akal” (pikiran) atau pun “ma’qul” (yang dipikirkan) karena sifat-sifat tersebut menimbulkan pluralitas, sekurang-kurangnya dalam pikiran. Untuk mempertahankan keesaan Tuhan yang mutlak, Plotinus menjauhkannya dari segala pemikiran  manusia yang bisa menimbulkan pluralitas, meskipun hanya dalam gambaran pikiran.
“Yang pertama” bagi Plotinus bukan pikiran dan tidak mempunyai kehendak (kemauan), bukan jauhar dan bukan pula ‘aradh. Ia hanya disifati dengan kebaikan semata-mata, tetapi kebaikan-Nya itu adalah Zat-Nya sendiri, bukan suatu sifat yang berdiri pada-Nya, sehingga tidak perlu menimbulkan bilangan sama sekali.

Sifat-sifat akal itu adalah:
1.      Akal keluar langsung dari “Yang Pertama” dan kedudukannya dalam wujud ini adalah sesuatu “Yang Pertama”. Keesaan “Yang Pertama” dari segala segi, menjadi berbilang dengan akal, karena dengan adanya akal (pikiran), ada lagi yang menjadi objek pikiran (ma’qul).
2.      Akal keluar dari “Yang Pertama” bukan dalam proses waktu, sebagaimana halnya dengan wujud abstrak lainnya.
3.      Keluarnya akal dari “Yang Pertama” tidak memengaruhi kesempurnaan-Nya.
4.      Akal keluar dari yang pertama dengan sendirinya, tidak perlu mengandung paksaan dan perubahan pada-Nya, bukan pula karena kehendak dan pilihan-Nya, karena pendapat kehendak (iradah)bararti merusak keesaan-Nya, sebab dengan “sendirinya” (natural necessaty), keesaan yang pertama tetap terpelihara tanpa menimbulkan bilangan.
5.      Kedudukan akal diantara semua wujud ialah sebagai pembuat alam (shani’ul-alam, demiurge).
Sifat-sifat jiwa alam menurut Plotinus:
1.      Jiwa alam mengandung akal sebagai yang menciptakannya, dan jiwa alam tersebut memberi sinar kepada alam indrawi (sensual world) dengan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya.
2.      Kedudukan jiwa alam adalah sesudah akal dan merupakan akhir wujud alam (alam al-mujarradat) serta menjadi penghubung antara alam indrawi dengan alam ghaib (super sensual world) atau alam dari Plato.
3.      Karena kedudukan itu, jiwa alam dari satu segi terbagi, dan dari segi lain tidak bisa terbagi.
4.      Adanya tingkatan-tingkatan wujud ini menyebabkan Plotinus mengatakan adanya dua macam jiwa. Pertama, jiwa yang tidak berhubungan langsung dengan indrawi (sensual). Kedua, jiwa yang merupakan wakil jiwa yang pertama, yang menjadikan alam indrawi dan disebut tabiat alam ini.
5.      Jiwa alam adalah wakil alam dalam memelihara dan membekasi alam di bawahnya, sebagaimana akal itu sendiri menjadi wakil “Yang Pertama”.
Sifat-sifat alam materi:
1.      Tingkatan alam materi ialah sesudah jiwa alam, dan menjadi asal (sumber) bagi alam lahir ini.
2.      Materi menjadi sebab ketidaksempurnaan dan kekurangan.
3.      Plotinus menganggap ada materi lain yang terdapat dalam alam abstrak, sedangkan alam lahir ini pun merupakan  gambaran dari alam abstrak.
Peralihan filosofis Yunani menjadi filosofi Hellen-Romana disebabkan terutama oleh Alexandras yang besar, murid Aristoteles. Dalam perkembangan masa Helle-Romana, ilmu pengetahuan disipliner dan applied science semakin menguat. Karena orang merasakan manfaat ilmu terhadap kehidupan, berbeda dengan filsafat yang lebih banyak membingungkan. Ilmu matematika, ilmu alam, gramatika, filolologi, sejarah, kesusastraan dan sejarah umum besar sekali manfaatnya. Filsafat dibutuhkan untuk membangkitkan rasio agama masyarakat, tetapi akhirnya agama yang dianut adalah agama yang benar-benar produk filsafat.[5]


Buku-buku Hellenisme-Romawi
1.      Buku Arismatic (Introduction to Arismatic) karangan Nicomacua dari gerasa yang hidup pada pertengahan abad ke-2 M. Dalam pikirannya ia lebih condong pada aliran Phytagoras lama. Menurut Sotillana (penerjemah buku tersebut) pikiran-pikiran aliran Phytagoras  bercampur dengan pikiran-pikiran Babilonia purba pada golongan Sabiah di Irak, yaitu orang-orang Harran.
2.      Buku Poimandres, susunam Hermes Trismegistus, yang mencerminkan paduan antara pikiran Plato dan aliran Phytagoras baru dengan kepercayaan Mesir Kuno. Buku tersebut berisi tentang percakapan antara akal-ketuhanan (logos) dengan muridnya, yaitu Hermes, dalam soal yang bertalian dengan Zat Tuhan, sumber alam dan limpahan sinar Tuhan (isyraq) pada manusia.

Buku-buku Masa Neo Platonisme
1.      Buku Enneafs (Ke-sembilan-an), karangan Plotinus dari Mesir. Buku ini merupakan kumpulan karangan-karangan pendek yang berjumlah 54 buah dan disusun kembali oleh Phorpyry sepeninggal Plotinus, dan dijadikan enam buku (kumpulan), dimana tiap-tiap buku berisi Sembilan karangan.
2.      Buku Theologia (Ketuhanan) yang merupakan pilihan dari buku Enneafs. Buku tersebut ditulis dalam bahasa Suriani dan dikatakan bahwa pengarangnya adalah Aristoteles, orang yang menerjemahkannya kedalam bahasa Arab, banyak mengadakan perubahan isinya atau tambahan dan tidak banyak yang memahami isi bagian-bagiannya yang lain.
3.      Buku Isagoge karangan Pharpyry, yang berarti pengantar, karena dianggap sebagai jalan mempelajari buku-buku Aristoteles yang mengenai logika dan berisi predikat yang lima. Buku tersebut diterjamahkan oleh Ibn al-Muqaffa.
4.      Buku tentang “qadimnya alam” karangan Proclus yang dikenal oleh penulis-penulis Islam.
5.      Buku “Unsur-unsur Ketuhanan” karangan Proclus.
6.      Buku” Bantahan terhadap Proclus” yang terkenal di kalangan penulis-penulis Islam.[6]

























BAB III
KESIMPULAN
Helenis atau Helenisasi, berasal dari kata Yunani “Helen” (Istilah yang dipakai oleh orang Yunani untuk menyebutkan etnik mereka). Helenis juga digunakan untuk mendeskripsikan perubahan kultural di mana sesuatu yang bersifat bukan Yunani menjadi Yunani (peradaban Helenistik).
Ciri-ciri filsafat Yunani sebelum Islam yaitu, apa yang dibenarkan  oleh akal pikiran dinamakan filsafat, dan apa yang tidak dapat diterima oleh akal pikiran dimaksudkan dalam cerita-cerita agama. Sifat-sifat menurut Plotinus ada tiga yaitu sifat akal, sifat jiwa, dan sifat alam materi.










  






DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Abdul dan Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.
Hanafi, Ahmad. 1991. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Ihsan, A.Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta.


[2] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hal. 27.
[3] A.Fuad Ihsan, Filsafat Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 197.
[4] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam…, hal. 28-34.
[5] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metodologi sampai Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal.106-111.
[6] Ahamad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam…, hal. 47-48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar