PEMBAHASAN
1.
Pengertian Tarjih
Pengertian
tarjih secara etimologi, berasal dari kata “at-tarjiihu”
yang berarti menguatkan.[1]
Istilah lain yaitu:
خَعْـلُ الشَّيءٍ رَاجِحًا
“ Menjadikan sesuatu lebih kuat.”[2]
Konsep tarjih muncul ketike terjadinya
pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil lainnya yang sederajat
dan tidak bisa diselesaikan dengan cara al-jam’u
wat taufiq. Dalil yang dikuatkan disebut dengan rajih, sedangkan dalil yang dilemahkan disebut dengan marjuh.
Secara terminologi yang dimaksud dengan
tarjih ialah memperkuat salah satu dari dua dalil atau lebih yang berlawanan
dengan adanya tanda yang dapat meyakinkan mujtahid bahwa dalil tertentu lebih
kuat dari pada dalil yang lainnya. Atau
tarjih adalah
اِظْـهَارُ
اِمْتِيَازِ اَحَدِ الْدَّلِيْلَينِ الْمُتَمَاثِلَيْنِ بِوَصْفٍ يَجْعَلُـهُ
اَوْلَى بِاْلإِعْتِبَارِ مِنَ اْلآخَرِ
“Menampakkan
kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama dengan sesuatu yang menjadikannya
lebih utama dari yang lain.”
تَقْوِيَـةُ اِحْدَى اْلإِماَرَ تَيْنِ (اَيِ الدَّلِيْلَيْنِ
الظَّنِّيَيْنِ) عَلَى اْلأُخْرَى لِيُعمَلَ بِهَا
“Menguatkan salah satu indicator dalil yang
zhanni atas yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan).”
اِظْـهَارُ
زِيَادَةٍ لِأَحَدِالْمُتَمَاثِلَيْنِ عَلَى الْآخَرِ بِمَا لاَيَسْتَقِلُّ
“Melahirkan sesuatu kelebihan bagi salah
satu dua dalil yang serupa atas yang lain dengan sesuatu yang tidak berdiri
sendiri.”[3]
Jadi, tarjih dalam istilah dapat
disebut sebagai melakukan sesuatu kelebihan bagi salah satu dari dua dalil atau
lebih yang serupa atas yang lain dengan sesuatu yang tak berdiri sendiri.[4]
Daridefinisi-definisi diatas dapat
dirumuskan hakikat dari tarjih, yaitu:
a. Ada dua dalil yang sama-sama memenuhi syarat untuk dijadikan
dalil bagi suatu hukum.
b. Kedua dalil tersebut berbenturan dan tidak ada kemungkinan untuk
mengamalkan keduannnya dengan cara apapun.
c. Ada petunjuk atau indikasi yang mewajibkan beramal dengan salah
satu diantaranya (yang lebih kuat) dan meninggalkan yang lain (kurang kuat).
Dalil yang kuat itu harus diamalkan, disebut rajih, sedangkan yang kurang kuat yang mesti ditinggalkan itu
disebut marjuh.[5]
2.
Unsur dan Syarat-syart Tarjih
a.
Yang akan ditarjih hendaklah dalam satu masalah. Sama-sama tentang
masalah haji misalnya, atau wajib dengan wajib, atau sunah dengan sunah dan
sebagainya.
b.
Yang akan ditarjih hendaknya sama, dilihat dari segi tempat, waktu,
syarat dan hal-hal yang dibicarakan.
c.
Adanya dua dalil.
d.
Adanya sesuatu yang menjadikan salah satu itu lebih utama dari yang
lain.[6]
Mengenai sesuatu
yang menjadikan salah satu dalil itu lebih utama dari yang lain, dijabarkan
oleh ulama ushul secara panjang lebar dan mendetail. Hal ini bisa kita lihat
pada uraian Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al Mustashfa, atau uraian AlAmidi
dalam Al Ihkaam Ushulil Ahkam. Al Iraqi memberikan keterangan sesuatu yang
dapat dijadikan dasar untuk mentarjih itu sampai pada 110 macam.
Jika kita lihat
dari uraian ahli-ahli ushul diatas maka dapat kita bagi menjadi dua bagian,
yaitu untuk dalul-dalil manqul dan untuk dalil-dalil maa’qul.
a.
Untuk dalil-dalil manqul dibagi menjadi tiga:
1)
Yang kembali kepada sanad dan ini dibagi menjadi dua:
a)
Yang kembali kepada perawi, dibagi menjadi dua:
(1) Yang kembali pada diri
perawi.
(2) Yang kembali pada
penilaian perawi.
b)
Yang kembali pada periwayatnya.
2)
Yang kembali pada matan.
3)
Yang kembali pada hal yang diluar kedua tersebut diatas.
b.
Untuk dalil-dalil maa’qul, dibagi empat bagian:
1) Yang dikembalikan pada
ashal.
2) Yang dikembalikan pada
fara’.
3) Yang dikembalikan pada isi
dalil.
4) Yang dikembalikan pada
diluar ketiga diatas.[7]
3.
Jalan-jalan tarjih
a. Yang berlaku pada dalil
manqul:
1)
Mentarjih dalam hal sanad adalah, memilih sanad yang lebih kuat dengan
beberapa jalan:[8]
(a) Yang kembali kepada diri
perawi:
(1)
Dipilih sanad yang lebih banyak orang meriwayatkannya, karena jumlah
perawi yang banyak jumlahnya dalam meriwayatkan akan menguatkan keyakinan
tentang kebenarannya.
(1) Dipilih sanad orang-orang
yang lebih mengerti tentang maksud hadis yang diriwayatkan. Kemasyuran tsiqah
seorang perawi dimenangkan diri dari yang tidak.
(2) Perawi yang lebih wara’
dan taqwa dimenangkan dari yang kurang.
(3) Yang telah mengamalkan
yang diriwayatkan lebih diutamakan dari yang menyelisihinya.
(4) Perawi yang menghayati
langsung masalah yang diriwayatkan dimenangkan dari yang tidk.
(5) Perawi yang lebih dekat
hubungannya dengan Nabi Muhammad dimenangkan dari yang jauh.
(6) Perawi yang termasuk
kibarish sahabat diutamakan dari ynag shigaris shahabah.
(7) Perawi yang lebih dulu
masuk islamnya dimenangkan dari yang kemudian.
(8) Perawi yang mendengar
ucapan hafalan langsung lebih diutamakan dari yang hanya menerima dari tulisan.
(9) Perawi yang menerina kabar
sesudah baligh diutamakan dari yang menerimanya sebalum baligh.[9]
(b) Yang kembali pada
tadzkiyah perawi:
a) Yang menganggap baik lebih
banyak dimenangkan dari yang sedikit.
b) Yang menganggap baik
dengan tegas diutamakan dari yang tidak.
c) Pensucian perawi dengan
menggunakan kata penaksiran dimenangkan dari yang hanya dengan kata periwayatan
saja.
d) Penilaian yang mengamalkan
apa yang diriwayatkan diutamakan dari yang tidak.[10]
(c) Yang kembali pada
periwayatan:
a) Riwayat yang mutawir
didahulukan atas riwayat ahad.
b) Musnad dimenangkan dari
mursal.
c) Hadisyang diriwayatkan
dari Bukhari dan Muslim dimenangkan dari yang lain.
d) Yang diriwayatkan atas
yang didengar dari gurunya, diutamakan dari yang dibaca di depan gurunya.
e) Yang disepakati marfu’nya
dimenangkan dari yang diperselisihkan mauqufnya.
f) Riwayat bil-lafdhi
dimenangkan dari riwayat bil-makna.[11]
2)
Yang kembali pada matan, mentarjih dalam hal ini adalah memilih matan
yang lebih kuat. Matan dititik beratkan pada lafadh dan makna:
a) Bukan musyitarak
didahulukan dari yang musyitarak.
b) Hakikat didahulukan dari majaz.
c) Kalau keluarnya
musyitarak, yang lebih sedikit artinya didahulukan dari yang banyak
artinya.
d) Kalau keduanya majaz, pengertian
yang manqul didahulukan dari yang maa’qul.
e) Yang tidak memerlukan idhmar
atau hazf didahulukan atas yang memerlukan.
f) Kalau keduanya hakiki maka
yang lebih masyur itu yang dipakai.
g) Makna syar’I
didahulukan atas makna lughawi.
h) Yang ada mu’akad-nya
didahulukan dari yang tidak.
i) Manthuk didahulukan atas mafhum.
j) Khash didahulukan atas ‘amm.
3)
Yang kembali pada isi dalil:
1) Yang melarang didahulukan
atas yang membolehkan.
2) Yang melarang didahulukan
atas yang mewajibkan.
3) Yang mengandung hukum
haram didahulikan atas yang makruh.
4) Itsbat didahulukan atas nafyi.
5) Yang mengandung ziyadah
didahulukan atas yang tidak.
6) Yang mengandung taklifi
dimenangkan atas wadh’i.
7) Yang meringankan
didahulukan atas yang memberatkan.
4)
Tarjih sesuatu dalil berdasarkan yang lain dari hal-hal diatas:
1) Yang cocok dengan
dalil-dalil lain dimenangkan dari yang tidak.
2) Yang mengandung apa yang
diamalkan oleh ahli Madinah dimenangkan dari yang tidak.
3) Yang ta’wilnya
sesuai dimenangkan dengan yang tidak sesuai.
4) Hukum yang ber’illat
dimenangkan dari yang tidak.
b.
Yang berlaku pada dalil maa’qul:
1) Yang kembali pada ashal
a) Yang terjadi pada hukum:
(1) Yang qath’i didahulukan
dari yang dhanni.
(2) Yang tidak diperselisihkan
didahulukan dari yang tidak diperselisihan.
(3) Hukum ashal yang illahnya
ditunjukan oleh dalil dimenangkan dari yang tidak.[12]
b) Yang terjadi pada illah,
dibagi menjadi dua:
(1) Pentarjihan dari segi cara
penetapan illah:
(a) Menguatkan illah yang
telah disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illah dari yang
tidak demikian.
(b) Menguatkan illah yang
dilakukan dengn cara as-sibru wa at-taqsim yang dilakukan para mujtahid.
(c) Menggunakan illah yang di
dalamnya terdapat isyarat nash dari illat yang ditetapkan melalui munasabah
(kkeserasian).
(2) Pentarjihan dari sifat
illat, antara lain:
(a) Menguatkan illat yang bisa
diukur dari pada yang relatif.
(b) Menguatkan illat yang
sifatnya bisa dikembangkan pada hukum lain dari pada yang terbatas pada satu
hukum.
(c) Menguatkan illat yang
berkaitan dengan masalah yang penting daripada yang bersifat hajjiyat
(penunjang).
(d)Menguatkan illat yang
jelas melatar belakangi suatu hukum, dari pada illat yang bersifat indicator
terhadap latar belekang hukum.[13]
2) Yang kembali pada fara’
a) Fara’ yang timbulnya
kemudian sesudah hukum, dimenangkan atas yang timbul sebelumnya.
b) Fara’ yang illatnya tegas
didahulukan dari yang tidak.
c) Fara’ yang telah disebut
secara global dalam nash diutamakan dari yang tidak.
3) Tarjih yang kembali pada
isi dalil qiyas dan sesuatu yang diluar ashal dan fara’, oleh ulama ushul
disamakan dengan yang ada pada dalil manqul dalam masalah yang sama.
Demikianlah sebagian tarjih yang dipakai oleh
ulama ushul dalam mentarjihkan dalil-dalil ta’arud yang menghendaki tarjih.
Dengan tarjih ini belum berarti bahwa persoalan
ta’arudl adillah selesai, karena berdasarkan pemikiran masih ada kemungkinan
dari dalil-dalil ta’arud tidak bisa dicari jalan tarjihnya, dalam hal ini hanya
kepada dalil-dalil sunnah dan qiyas.kalau ada dalil As-Sunnah maupun Al-Qiyas
yang tidak bisa dicari jalan keluar termasuk tarjih, maka keduanya
ditawaqufkan, sesuai dengan kaidah:
اِذَاتَعَارَضَا تَسَا قَطَا
Artinya: “bila kedua
dalil ta’arudl (maksudnya ta’arudl hakiki), keduanya jatuh martabatnya sebagai
dalil.[14]
4.
Berlakunya Tarjih
Tarjih hanya berlaku dalam dalil yang
berkekuatan zhanni, baik antara dua dalil naql seperti hadis Nabi
dan ijma’, maupun antara duadalil ‘akli seperti qiyas. Tarjih
tidak berlaku pada Al-Quran karena dia adalah dalil yang qath’iy.
Bila terjadi perbenturan antara sesama Sunnah
Nabi, hal yang paling dapat dijadikan factor penentu dalam tarjih adalah:
a.
Kuantitas perawi, seperti dalil yang satu lebih banyak periwayatnya dari
yang lain.
b.
Bentuk periwayatan, yang satu dalam bentuk mutawir sedangkan yang satu
diriwayatkan secara perseorangan (ahad).
c.
Cara penilaian terhadap perawi, menyatakan seorang perawi itu adil.
d.
Keadaan yang diriwayatkan.
e.
Narasumber tempat menerima kabar.
f.
Kualitas matan dan teks.[15]
5.
Contoh Tarjih
Berikut ini dua riwayat yang harus ditarjihkan
karena tampak bertentangan, yaitu:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّـهُ قَالَ تَزَوَّجُ رَسُولُ اللَّهِ
مَيْمُونَـةَ وَهُوَ مَحْرُمٌ.(رواه مسلم)
“Dari Abu Abbas, bahwa ia
berkata: “Rasulullah telah kawin dengan Maimunah, sedang nabi dalam ihram.”
(HR. Muslim)
Dengan
riwayat lain berbunyi:
عَنْ يَزِيْدِبْنِ اْلأَصَمِّ قَالَ: حَدَّ ثَـنِى مَيْمُو نَةُ بِنْتُ
الْحَرِثِ أَنْ رَسُولَ اللّهِ تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلاَلٌ. (رواه مسلم)
“Dari Yazid bin Al Asam, ia berkata:
Maimunah binti Al-Haris telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah kawin
kepadanya, sedang beliau ihlal”. (HR. Muslim)
Riwayat
pertama menyebutkan bahwa Nabi menikah dengan Maimunah adalah ketika Nabisedang
ihram, sedang riwayat kedua mengatakan bahwa, Nabi sedang ihlal. Untuk
mentarjihnya, mula-mula diperhatikan adalah:
a.
Dalam sanad yang pertama,
Ibnu Abbas yang meriwayatkan perkawinan Maimunah sendiri yang menceritakan
dirinya. Dalam hal ini tentu lebih dianggap kuat riwayat Maimunah.
b.
Riwayat kedua dilakukan
pula oleh Abu Rafi’, yang menyatakan bahwa nabi kawin dengan Maimunah adalah
dalam keadaan ihlal.
c.
Riwayat Maimunah dan Abu
Rafi’, sesuai pula dengan hadis Nabi yang berbunyi:
لاَ يَنْكِـحُ
الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ.(رواه مسلم)
"Orang yang dalam ihram tidak boleh kawin dan tidak boleh mengawinkan.
(HR. Muslim)"
Dengan demikian, maka riwayat yang pertamalah yang terpakai karena lebih
kuat (rajin), cara demikian dinamakan Tarjih.[16]
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Tarjih
adalah mengunggulkan salah satu dalil atas dalil lain yang saling bertentangan.
Hukum mengamalkan dalil yang tarjih adalah wajib, sedangkan mengamalkan
dalil yang marjuh di samping adanya yang rajih tidak dibenarkan.
Syarat-syarat tarjih adalah adanya persamaan antara dua dalil dan adanya
persamaan dalam kekuatannya. Adapun
cara mentarjih dapat ditnjau dari segi sanad hadis, matan hadis, kandungan
hadis dan hal-hal di luar hadis.
Jadi,
tarjih dalam As-Sunnah adalah menguatkan salah satu dalil atas dalil yang lain
dalam menyelesaikan masalah dengan menggunakan jalan-jalan tarjih yang ada
dalam sannah.
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin, Zen. 2009. Ushul
Fiqh. (Yogyakarta: Sukses Offset).
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu
Ushul Fiqh Satu dan Dua. (Jakarta: Pranada Media Group)
Muchtar, Kamal. 1995. Ushul
Fiqh. (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf).
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis
Besar Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group).
Syafe’i, Rachmat. 2000. Ilmu
Ushul Fiqh. (Bandung: Pustaka Setia).
Uman, Chaerul. 1997. Ushul
Fiqh. (Bandung: Pustaka Setia).
Umar, Muin. 1985. Ushul
Fiqh. (Jakarta: IAIN Jakarta).
[1] Cherul Uman,
Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1997, hal. 203.
[2] Basiq
Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua, Jakarta: Pranada Media Group,
2010, hal. 202.
[3] Zen
Amirudin, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Sukses Offset, 2009, hal. 327.
[4] Cherul Uman,
Loc. Cit.
[5] Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2012, hal. 88.
[6] Basiq
Djalil, Op. Cit., hal.203.
[7] Kamal
Muchtar, Ushul Fiqh, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995, hal. 183.
[8] Basiq
Djalil, Op, Cit., hal. 204.
[9] Muin Umar, Ushul
Fiqh, Jakarta: IAIN Jakarta, 1985, hal. 185.
[10] Kamal
Muchtar, Op. Cit., hal.184.
[11] Kamal
Muchtar, Op. Cit., hal.185.
[12] Muin Umar, Op.
Cit., hal. 186.
[13] Rachmat
Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hal. 248-249.
[14] Muin Umar, Op.
Cit., hal. 188.
[15] Amir
Syarifudin, Op. Cit., hal. 89.
[16] Basiq
Djalil, Op. Cit., hal. 205-206.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar