PEMBAHASAN
PERADABAN ISLAM PADA MASA KHULAFA’ AL-RASYIDIN
Wafatnya Nabi Muhammad sebagai
pemimpin agama maupun Negara menyisahkan persoalan politik. Nabi tidak
meninggalkan wasiat kepada seorang pun sebagai penerusnya. Akibatnya, para
sahabat mempermasalahkan dan saling berusaha untuk mengajukan calon pilihan
dari kelompoknya. Ahmad Amin mencatat sedikitnya ada 3 kelompok yang berkeinginan
menjadi penerus nabi, yaitu:
No
|
Kelompok
|
Calon
|
Sebab
|
1
|
Ahl Bait
|
Ali bin Abi Thalib
|
Karena yang paling berhak adalah para ahl-bait Rasulullah sendiri.
|
2
|
Anshar
|
Sa’ad bin Ubadah
|
Golongan Anshar merupakan golongan pelindung Nabi disaat Nabi teraniaya
di Mekkah & beliau pun meninggal dalam keadaan puas terhadap Anshar.
|
3
|
Muhajirin
|
Abu Bakar Ash-Shidiq
|
Kaum Muhajirin merupakan kaum yang pertama mempercayai ajaran Nabi
& selalu menemani beliau dalam suka & duka.[1]
|
Perselisihan tersebut berdampak pada
tertundanya pemakaman Rasulullah setelah terjadinya peristiwa saqifah dimana
Abu Bakar di bait sebagai penerus nabi. Masa Kulafa’ al-Rasyidin merupakan masa
keemasan, dimana pemerintahan dijalankan seperti halnya pemerintahan masa Nabi.
Indikator yang dapat dilihat adalah:
a.
Pembentukannya
dengan suara rakyat.
b.
Kepala
Negara merupakan pilihan rakyat.
c.
Pemerintahan
dijalankan dengan musyawarah.
d.
Kedaulatan
hukum Illahi diaplikasikan dalam kehidupan bernegara, sehingga terdapat
keyakinan bahwa segala gerak-gerik dipertanggungjawabkan kepada Allah.
e.
Kekuasaan
pemerintah tidak didominasi oleh satu kelompok ataupun golongan.[2]
A.
Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/
632-634 M)
Abu Bakar, nama lengkapnya ialah
Abdullah bin Abi Quhafa At-Tamimi. Di zaman pra Islam bernama Abdul Ka’bah,
kamudian diganti oleh Nabi menjadi Abdullah. Ia termasuk salah seorang sahabat
yang utama. Dijuluki Abu Bakar karena dari pagi-pagi betul (orang yang paling
awal) memeluk agama Islam. As-Shiddiq diperolehnya karena ia dengan segera
membenarkan Nabi dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’ dan Mi’raj.
Rasulullah mempercayainya sebagai pengganti untuk menangani tugas-tugas
keagamaan atau mengurusi persoalan-persoalan aktual di Madinah.[3]
Abu Bakar memangku jabatan khalifah
selama dua tahun lebih sedikit, yang dihabiskannya terutama untuk mengatasi
berbagai masalah dalam negeri yang muncul akibat wafatnya Nabi. Yang pertama
kali menjadi perhatian khalifah adalah merealisasikan keinginan Nabi yang hampir
tidak terlaksana, yaitu mengirimkan ekspedisi ke perbatasan Suriah di bawah
pimpinan Usamah.[4]
Wafatnya Nabi mengakibatkan beberapa
masalah bagi masyarakat muslim. Beberapa orang Arab yang lemah imannya justru
menyatakan murtad. Dan mereka juga malakukan riddah, yaitu kegiatan
pengingkaran terhadap Islam, dan beralih agama dari Islam ke kepercayaan
semula. Oleh karena itu, khalifah dengan tegas melancarkan opersi pembersihan
terhadap mereka. Pembersihan juga dilakukan untuk menumpas nabi-nabi palsu dan
orang-orang yang enggan membayar zakat.[5]
Dalam memerangi kaum murtad, dari
kalangan kaum muslimin banyak hafizh (penghafal Al-Quran) yang tewas.
Umar cemas jika angka kematian itu bertambah, yang berarti beberapa bagian dari
Al-Quran akan musnah. Oleh karena itu, ia menasehati Abu Bakar untuk membuat
suatu “kumpulan” Al-Quran.
Sesudah memulihkan ketertiban di
dalam negeri, Abu Bakar lalu mengalihkan perhatiannya untuk memperkuat
perbatasan dengan wilayah Bizantium dan Persia. Sedangkan ke Syiria, yang di
kuasai Romawi Timur (Bizantium), Abu Bakar mangutus empat panglima, yaitu Abu
Ubaidah, Yazid bin Abi Sufyan, Amr bin Ash dan Syurahbil.[6]
Khalifah Abu Bakar meninggal dunia,
pada hari Senin, 23 Agustus 624 M setelah lebih kurang selama 15 hari berbaring
di tempat tidur. Ia berusia 63 tahun dan kekhalifahannya berlangsung 2 tahun 3
bulan 11 hari.[7]
Sementara itu, barisan depan umat Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan
kerajaan Hijrah. Ia digantikan oleh “tangan kanan” nya, Umar bin Khathab.
Pengangkatan Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan
terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam.[8]
B.
Umar bin Khathab (13-23 H/ 634-644 M)
Umar bin Khathab nama lengkapnya
adalah Umar bin Khathab bin Nufail keturunan Abdul Uzza Al- Quraisy dari suku
Adi; salah satu suku yang terpandang mulia. Umar dilahirkan di Mekkah empat
tahun sebelum kelahiran Nabi SAW. Ia adalah seorang yang berbudi luhur, fasih
dan adil serta pemberani.[9]
Ketika Umar telah menjadi khalifah,
ia berkata kepada umatnya: “Orang-orang Arab seperti halnya seekor unta yang
keras kepala dan ini akan bertalian dengan pengendara dimana jalan yang akan
dilalui, dengan nama Allah, begitulah aku akan menunjukan kepada kamu ke jalan
yang harus engkau lalui. Umar bin Khathab menyebut dirinya “Khalifah Khalifati
Rasulillah” (pengganti dari pengganti Nabi). Ia juga mendapat gelar Amir
Al-Mukmin (komandan orang-orang beriman) sehubungan dengan
penaklukan-penaklukan yang berlangsung pada masa pemerintahannya. Khalifah Umar
menganggap bahwa tugasnya yang pertama iaalah mensukseskan ekspedisi yang
dirintis oleh pendahulunya. Belum genap satu tahun memerintah, Umar telah
menorehkan tinta emas dalam sejarah perluasan wilayah kekuasaan. Pada tahun 635
M, Damaskus yang merupakan ibukota Syiria ditundukkan, setahun kemudian seluruh
wilayah Syiria jatuh ke tangan kaum muslimin, setelah pertempuran hebat di
lembah Yarmuk di sebelah timur anak sungai Yordania.[10]
Dari Syiria, pasukan kaum muslimin
melanjutkan langkah ke Mesir dan membuat kemenangan-kamenangan di wilayah
Afrika bagian utara. Tahun 18 H pasukan muslimin mencapai kota Aris dan
mendudukinya tanpa perlawanan. Kemidian menundukan Pelisium (Al-Farama),
pelabuhan di pantai laut tengah dan merupakan pintu gerbang ke Mesir. Satu per
satu kota-kota Mesir dapat di taklukkan oleh pasukan muslimin. Kota Babilon di
tundukan pada tahun 20 H setelah 7 bulan terkepung. Iskandariah dikepung selama
empat bulan sebelum ditaklukkan di bawah pimpinan Ubadah bin Samit. Cyrus,
pemimpin Romawi di Mesir mengajak damai dengan pasukan muslimin dan kemudian
menandatangani perjanjian damai dengan kaum muslimin. Dengan jatuhnya
Iskandariah ke tangan kaum muslimin, maka sempurnalah penaklukkan atas Mesir.
Ibukota negeri itu kemudian dipindahkan ke kota baru yang bernama Fustat yang
di bangun oleh ‘Amr bin Ash pada tahun 20 H. Masjid ‘Amr masih berdiri tegak di
pinggiran kota Kairo hingga kini sebagai saksi sejarah.[11]
Karena perluasan daerah terjadi
dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi Negara dengan mencontoh
administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi
pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah provinsi: Mekkah, Madinah, Syiria,
Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir.[12]
Khalifah Umar ahli dalam menentukan
hukum, jenius dalam menata lembaga pemerintahan, lihai dalam menghadapi masalah
baru yang belum pernah timbul pada masa Rasulullah dan Abu Bakar.[13] Umar juga
mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan tahun Hijrah.[14]
Khalifah Umar memerintah selama 10
tahun lebih 6 bulan 4 hari. Kematiannya sangat tragis, seorang budak bangsa
Persia bernama Fairuz atau Abu Lu’lu’ah secara tiba-tiba menyerang dengan
tikaman pisau tajam kearah khalifah yang akan mendirikan shalat subuh yang
telah ditunggu oleh jama’ahnya di masjid Nabawi.[15] Untuk
menentukan penggantinya, Umar menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada
mereka untuk memilih salah seorang
diantaranya untuk menjadi khalifah. Enam orang tersebut ialah Ustman, Ali,
Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abdurrahman ibn ‘Auf. Kemudian tim
ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman bin Affan sebagai khalifah.[16] Khalifah
Umar meninggal tiga hari setelah peristiwa penusukkannya, yakni 1 Muharam 23
H/644 M.[17]
C.
Utsman bin Affan (23-36 H/644-656 M)
Utsman bin Affan, nama lengkapnya
ialah Utsman bin Affan bin Abil Ash bin Umayyah dari suku Quraisy. Ia memeluk
Islam karena ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang sahabat dekat Nabi
SAW. Ia sangat kaya tapi berlaku sederhana, dan sebagian kekayaannya digunakan
untuk kepentingan Islam. Ia mendapat julukan zun nurain, artinya yang memiliki
dua cahaya, karena menikahi dua puteri nabi secara berurutan setelah yang satu
meninggal. Umar menyumbang 950 ekor unta dan 1.000 dirham dalam ekspedisi untuk
melawan Bizantium di perbatasan Palestina.[18]
Pada masa awal pemerintahannya,
Utsman melanjutkan sukses para pendahulunya, terutama dalam perluasan wilayah
kekuasaan Islam. Di Mesir pasukan muslim diinstruksikan untuk memasuki Afrika
Utara. Salah satu pertempuran penting di sini ialah “Zatis Sawari” (perang
tiang kapal) yang terjadi di Laut Tengah dekat kota Iskandariyah, antara
tentara Romawi di bawah pimpinan Kaisar Constantin dengan Laskar Muslim
pimpinan Abdullah bin Sarah. Dinamakan perang kapal karena banyaknya
kapal-kapal perang yang di gunakan dalam peperangan. Disebutkan terdapat 1.000
buah kapal, dan 200 buah kapal milik kaum muslimin sedangkan sisanya milik
bangsa Romawi. Pasukan Islam berhasil mengusir pasukan lawan. Karya momental
Utsman lain yang dipersembahkan kepada umat Islam ialah penyusanan kitab suci
Al-Quran. Penyusunan Al-quran dimaksudkan untuk mengakhiri perbedaan-perbedaan
serius dalam bacaan Al-quran.[19]
Pemerintahan Utsman berlangsung 12
tahun. Utsman memang sangat berbada dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin kerena
umurnya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah
lembut. Setelah melawati saat-saat yang gemilang, pada paruh terakhir masa
pemerintahannya, khalifah Utsman menghadapi berbagai pemberontakan dan
pembangkangan di dalam negeri yang dilakukan oleh orang-orang yang kecewa
terhadap tabiat khalifah dan beberapa kebijaksanaan pemerintahannya. Utsman
terpilih karena sebagai calon yang konservatif, ia adalah orang yang baik dan
saleh. Namun, dalam banyak hal kurang menguntungkan, karena Utsman terlalu
terikat dengan kepentingan-kepentingan orang Mekkah, khususnya kaum Quraisy
dari kalangan Bani Umayyah. Kemenangan Utsman sekaligus adalah suatu kesempatan
yang baik bagi sanak saudaranya dari keluarga besar Bani Umayyah.
Kelemahan dan nepotisme telah membawa
khalifah kepuncak kebencian rakyat, yang pada beberapa waktu kemudian menjadi
pertikaian yang mengerikan dikalangan umat Islam. Situasi politik di akhir masa
pemerintahannya benar-benar semakin mencengkam. Bahkan juga berbagai usaha yang
bertujuan baik dan mempunyai alasan kuat untuk kemasalahatan umat disalahpahami
dan melahirkan perlawanan dari masyarakat. Pada saat menjabat khalifah, justru
Utsman jatuh miskin. Selain karena harta yang ia miliki digunakan untuk
membantu sanak familinya, juga karena seluruh waktunya dihabiskan untuk
mengurusi permasalahan kaum muslimin, sehingga tidak ada lagi kesempatan
mengumpulkan harta seperti di masa sebelum menjadi khalifah.[20]
Rasa tidak puas terhadap khalifah
semakin besar dan menyeluruh. Pemberontakan yang terjadi di Mesiar berhasil
mengusir gubernur yang di angkat khalifah, lalu mereka yang terdiri dari 600
orang Mesir itu berarak-arak menuju ke Madinah. Para pemberontak dari Basrah
dan Kufah bertemu dan menggabungkan diri dengan kelompok dari Mesir. Di tengah
perjalanan para pemberontak menemukan surat yang di bawa oleh utusan khusus
yang menerangkan bahwa para wakil itu harus dibunuh setelah sampai di Mesir.
Menurut mereka surat itu ditulis oleh Marwan bin Hakam, sekretaris khalifah,
sehingga mereka meminta Marwan diserahkan kepada para pemberontak. Tuntutan itu
tidak dipenuhi oleh khalifah. Akhirnya, mereka mengepung rumah khalifah, dan
membunuhnya ketika khalifah Utsman sedang membaca Al-Quran pada tahun 35 H/17
Juni 656 M.[21]
D.
Ali bin Abi Thalib (36-41 H/656-661 M)
Ali adalah keponakan dan menantu Nabi.
Ali adalah putra Abi Thalib bin Abdul Muthalib. Ia adalah sepupu Nabi SAW yang
telah ikut bersamanya sejak bahaya kelaparan mengancam kota Mekkah, demi untuk
membantu keluarga pamannya yang mempunyai banyak putra. Ia telah masuk Islam
pada usia sangat muda. Ketika Nabi menerima wahyu yang pertama, menurut Hasan
Ibrahim Hasan Ali berumur 13 tahun, atau 9 tahun menurut Mahmudunnasir. Ia
menemani nabi dalam perjuangan menegakkan islam, baik di Mekah maupun Madinah,
dan ia dijadikan menantu oleh Nabi dengan menikahkannya dengan Fatimah, salah
satu putri Rasulullah, dan dari sinilah keturunan Nabi berkelanjutan.[22]
Ali adalah seorang yang memiliki
banyak keahlian dalam bidang hukum, juga tafsir.[23] Pribadinya
penuh vitalitas dan energik, perumusan kebijakan dengan wawasan yang jauh ke
depan. Ia adalah pahlawan yang gagah berani, penasihat yang bijaksana,
penasihat hukum yang ulung, dan pemegang teguh tradisi, seorang sahabat sejati,
dan seorang lawan yang dermawan. Ia telah bekerja keras sampai akhir hayatnya
dan merupakan orang kedua yang berpengaruh setelah Muhammad.[24]
Ali memerintah hanya enam tahun.[25] Tugas
pertama yang dilakukan khalifah Ali ialah menghidupkan cita-cita Abu Bakar dan
Umar, menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah di bagikan oleh Utsman
kepada kaum kerabatnya ke dalam kepemilikan Negara. Ali juga segera menurunkan
semua gubernur yang tidak di senangi rakyat. Utsman bin Hanif di angkat menjadi
penguasa menggantikan Ibnu Amir, dan Qais bin Sa’ad dikirim ke Mesir untuk
menggantikan gubernur negeri itu. Gubernur Suriah, Muawiyah, juga diminta
meletakan jabatan, tetapi ia menolak perintah Ali, bahkan ia tidak mengakui
kekhalifahannya.[26]
Oposisi terhadap khalifah secara
terang-terangan dimulai oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Alasan mereka, karena
Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman dan mereka menuntut bela terhadap
darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zalim.[27] Tuntutan
yang sama juga diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa
berdarah itu untuk menjatuhkan legalitas Ali.
Akan tetapi, tuntutan mereka tidak
mungkin dikabulkan oleh Ali. Pertama, karena tugas utama yang mendesak
dilakukan dalam situasi ktitis yang penuh intimidasi seperti saat itu ialah
memulihkan ketertiban kekhalifahan. Kedua, menghukum para pembunuh
bukanlah perkara mudah, khalifah Utsman tidak di bunuh oleh hanya satu orang,
melaikan banyak orang dari Mesir, Irak, dan Arab secara langsung terlibat dalam
perbuatan tersebut.[28]
Khalifah Ali mengirim surat kepada
Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu
secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran dahsyat pun
terjadi. Perang ini di kenal dengan “Perang Jamal” (Unta) yang terjadi pada
tahun 36 H, karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta. Ali berhasil
mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh katika hendak melarikan diri,
sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.[29]
Segera sesudah menyelesaikan gerakan
Thalhah dan kawan-kawan, pusat kekuasaan Islam dipindahkan ke kota Kufah.
Dengan dikuasainya Sirya oleh Muawiyah, yang secara terbuka menentang Ali,
memaksa khalifah untuk bertindak. Pada tahun 37 H terjadilah pertempuran antara
pasukan Ali dengan pasukan Muawiyah di kota tua Siffin, dekat sungai Eufrat.
Ali mengerahkan 5.000 pasukan, sedangkan Muawiyah dalam posisi terdesak karena
7.000 pasukannya telah terbunuh, akhirnya ia mengangkat Al-Quran sebagai tanda
damai dengan cara Tahkim. Dalam tahkim tersebut khalifah dan Muawiyah harus
meletakkan jabatan, pemilihan khalifah baru harus dilaksanakan. Abu Musa
pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah. Akan tetapi, Amr bin Ash berlaku
sebaliknya, yaitu mengangkat Muawiyah sebagai khalifah, karena Ali telah
diturunkan oleh Musa. Perang Siffin yang di akhiri dengan tahkim (arbitrase),
ternyata tidak menyelesaikan masalah, kecuali menegaskan bahwa gubernur yang
maker itu mempunyai kedudukan yang setingkat dengan khalifah, dan menyebabkan
lahirnya golongan Khawarij, yang berjumlah kira-kira 12.000 orang.
Karena kekuatannya telah banyak
melemah, terpaksa khalifah Ali menyetujui perjanjian damai dengan Muawiyah.
Tepat pada 17 Ramadhan 40 H (661 M), khalifah Ali terbunuh, pembunuhnya adalah
Ibnu Muljam, seorang anggota Khawarij yang sangat fanatik. Pada tanggal 20
Ramadhan 40 H (661 M) masa pemerintahan khalifah Ali berakhir.[30]
KESIMPULAN
Setelah Nabi wafat pkepeminpinan
digantikan oleh empat sahabatnya, yang dimulai dari Abu Bakar, Umar, Utsman dan
Ali.
Abu Bakar memangku jabatan khalifah
selama dua tahun lebih sedikit, yang dihabiskannya terutama untuk mengatasi
berbagai masalah dalam negeri yang muncul akibat wafatnya Nabi.
Khalifah Umar memerintah selama 10
tahun lebih 6 bulan 4 hari. Khalifah Umar ahli dalam menentukan hukum, jenius
dalam menata lembaga pemerintahan, lihai dalam menghadapi masalah baru yang
belum pernah timbul pada masa Rasulullah dan Abu Bakar. Umar juga mendirikan Bait al-Mal,
menempa mata uang, dan menciptakan tahun Hijrah. Kematiannya sangat tragis,
seorang budak bangsa Persia bernama Fairuz atau Abu Lu’lu’ah secara tiba-tiba
menyerang dengan tikaman pisau tajam kearah khalifah yang akan mendirikan
shalat subuh.
Pemerintahan
Utsman berlangsung 12 tahun. Karya momental Utsman lain yang dipersembahkan
kepada umat Islam ialah penyusanan kitab suci Al-Quran.
Ali
memerintah hanya enam tahun. Ali adalah seorang yang memiliki banyak keahlian
dalam bidang hukum, juga tafsir. Pribadinya penuh vitalitas dan energik,
perumusan kebijakan dengan wawasan yang jauh ke depan. Ia adalah pahlawan yang
gagah berani, penasihat yang bijaksana, penasihat hukum yang ulung, dan
pemegang teguh tradisi, seorang sahabat sejati, dan seorang lawan yang
dermawan. Namun pada masa kekhalifahannya telah terjadi dua perang yang besar
yaitu “Perang Jamal dan Perang Siffin”.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Istianah. 2008. Sejarah Peradaban Islam.
(Malang : UIN-Malang Press).
Munir Amin, Samsul. 2009. Sejarah Peradaban Islam.
(Jakarta: AMZAH).
Sunanto, Musryfah. 2003. Sejarah Islam Klasik.I (Jakarta:
Pranada Media).
Yatim, Badri. 2010. Sejarah Peradaban Islam.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada).
[1]
Istianah Abu Bakar, Sejarah
Peradaban Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal.27.
[3]
Samsul Munir Amin, sejarah
peradaban islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hal.93.
[4]
Ibid.,hal. 94.
[5]
Ibid., hal. 95.
[6]
Ibid., hal. 97.
[7]
Ibid., hal. 98
[8]
Badri Yatim, Seiarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2010), hal.36.
[9]
Samsul Munir Amin, op.
cit., hal.98.
[10]
Ibid…, hal. 99.
[11]
Ibid…, hal. 100
[12]
Badri Yatim, op. cit.,
hal. 37.
[13]
Musyrifah Sunanto, Sejarah
Islam Klasik, (Jakarta: Pranada Media, 2003), hal. 21.
[14]
Badri Yatim, op. cit.,
hal. 38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar