BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata filsafat atau falsafat berasal
dari bahasa Arab “falsafah” berarti “diturunkan” dari kata Yunani “philosophia” yang merupakan kata
gabungan dari kata “philein” yang
berarti “mencintai” atau “philia” yang berarti “cinta” dan kata “sophia” yang berarti “kebijaksanaan”.
Dengan demikian kata philosophia
berarti mencintai atau cinta kepada kebijaksanaan.
Dari segi praktis, falsafat berarti
alam “pikiran atau alam berfikir”. Berfilsafat artinya berfikir. Namun tidak
semua berfikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berfikir secara mendalam
dan sungguh-sungguh. Filsafat adalah hasil akal manusia yang mencari dan
memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain filsafat
adalah ilmu yang berusaha mempelajari suatu sampai ke akar-akarnya, sistematika
dan menyeluruh sehingga mendapatkan hakikat kebenaran dari sesuatu itu.
Pemikiran Filsafat mengalami
perkembangan yang sangat pesat dan cepat menyebar ke berbagai wilayah dengan
periode yang berbeda-beda seperti Filasafat Yunani, Filsafat Klasik, Filsafat
Islam, sampai pada Filsafat Modern yang banyak ragam pemikirannya.
Periode-periode tersebut mempunyai ciri dan corak masing-masing meskipun secara
umum dari periode satu ke yang lainnya ada pemikiran yang bersentuhan. Di dalam
Periode tersebut terdapat periode Hellenistik atau Hellenisme yang juga
mempunyai cara pandang yang khas atau corak yang khusus.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang dimaksud filsafat
Hellenisme?
2.
Bagaimana ciri-ciri filsafat Yunani
sebelum Islam?
3.
Apa saja sifat-sifat menurut
Plotinus?
BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT HELLENISME
A.
Pengertian
Hellenisme
Helenis
atau Helenisasi, berasal dari kata Yunani “Helen” (Istilah yang dipakai oleh
orang Yunani untuk menyebutkan etnik mereka). Helenis juga digunakan untuk
mendeskripsikan perubahan kultural di mana sesuatu yang bersifat bukan Yunani
menjadi Yunani (peradaban Helenistik).[1]
B.
Filsafat Yunani Sebelum Islam
Sebelum lahirnya filsafat Islam,
baik di dunia Timur maupun di dunia Barat telah terdapat berbagai macam alam
pikiran, di antaranya yang terkenal ialah pikiran Mesir Kuno, Sumeria,
Babilonia, Assyuria, Iran, India, Cina dan Yunani. Filsafat Yunani yang sampai
kepada dunia Islam tidaklah seperti yang ditinggalkan oleh orang-orang Yunani
sendiri, baik yang melalui orang-orang Masehi Nestoria dan Jakobites, maupun
melalui golongan lain. Tetapi filsafat itu sampai kepada mereka yang sudah
melalui pemikiran Hellenisme-Romawi yang mempunyai ciri khas dan corak tertentu
yang sudah mempengaruhi filsafat itu. Karena itu tidak semua pikiran-pikiran
filsafat yang sampai kepada Dunia Islam berasal dari Yunani, baik dalam
teks-teks aslinya maupun ulasannya, melainkan hasil dari dua fase yang
berturut-turut, yaitu “fase Hellenisme dan fase Hellenisme-Romawi”. Fase Hellenisme
ialah fase dimana pemikiran filsafat hanya dimiliki orang-orang Yunani, yaitu
sejak abad ke-6 atau ke-5 SM sampai akhir abad ke-4 SM. Fase Hellenisme-Romawi
(Greko Romawi) ialah fase yang datang sesudah fase Hellenisme, dan yang
meliputi semua pemikiran filsafat yang pada masa kerajaan Romawi, serta ikut
membicarakan peninggalan pikiran Yunani, antara lain pemikiran Romawi di Barat
dan pemikiran di Timur yang ada di Mesir dan Syiria. Fase ini di mulai dari
akhir abad ke-4 SM sampai pertengahan abad ke-6 M di Bizantium dan Roma, atau
sampai pertengahan abad ke-7 M di Iskandariyah, abad ke-8 M di Syiria dan Iran.
1.
Ciri khas fase Hellenisme
Filsafat Yunani bukanlah hasil
ciptaan filosof-filosof Yunani
semata-mata, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai saingan dari kebudayaan
Yunani sebelum masa berfilsafat, karena filsafat di Yunani mula-mula dimaksudkan
untuk melepaskan diri dari kekuasaan golongan-golongan agama bersahaja dengan
jalan menguji ajarannya. Apa yang dibenarkan
oleh akal pikiran dinamakan filsafat, dan apa yang tidak dapat diterima
oleh akal pikiran dimaksudkan dalam cerita-cerita agama. Karena di dalam
filsafat Yunani terdapat unsur-unsur agama bersahaja, antara lain kepercayaan
tentang adanya banyak zat yang membekasi alam dan yang menjadi sumber segala
peristiwa meskipun dalam bentuk yang berbeda, karena zat yang bebilang dalam
agama itu dinamakan “dewa-dewa”, sedang dalam fisafat disebut “akal benda-benda
langit”, sebagai mana yang kita lihat antara akal bulan dan akal manusia.
Api Heraclitus yang dianggap sebagai asal kejadian
alam, boleh jadi karena pengaruh pemujaan api yang terkenal oleh agama-agama
Iran pada umumnya dan yang sampai di Yunani sesudah adanya pertemuan antara
Barat dengan Timur. Ciri kedua ialah ketidak-selarasan, karena filsafat ini
mula-mula terdiri dari bermacam-macam soal yang tidak selaras. Orang-orang yang
mempunyai pemikiran filsafat yang sistematis, seperti Plato dan Aristoteles,
juga tidak terhindar dari ketidak-selarasan ini. Karena dalam menguraikan
sesuatu persoalan filsafat, mereka masih terpengaruh oleh pikiran orang
sebelumnya, dengan segala macam perbedaannya yang mengandung ketidak-selarasan.
Teori Ide dari Plato merupakan usaha pemaduan antara
dua pemikiran yang berlawanan. Heraclitus dan pengikutnya mengatakan bahwa
segala sesuatu selalu berubah (perpetual
flux,panta rhei), dan pendapat ini dirubah oleh Pytagoras menjadi ajaran
yang mengatakan bahwa “perorangan menjadi ukuran segala sesuatu”. Aristoteles
mengatakan bahwa hanya zat yang ada dengan sendirinya dan tidak berubah-ubah
itulah yang bisa menjadi objek perngetahuan. Meskipun Plato dan Aristoteles
telah berhasi memadukan pikiran-pikiran filsafat sebelumnya, namun keduanya
tidak dapat melarutkannya karena pikiran-pikiran filsafat tersebut
bermacam-macam aliran dan berbeda-beda terhadap hidup dan ala ini.
Aliran-aliran ini ialah:
1.
Aliran
Tabii (natural philosophy) dengan Democritus
sebagai tokohnya dan filosof-filosof Ionia, yang menghargai alam dan wujud
benda setinggi-tingginya. Menurut aliran ini alam itu abadi.
2.
Aliran
Ketuhanan yang mengakui zat-zat yang metafisik, diwakili oleh aliran Elea dan
Socrates, yang mengatakan bahwa sumber alam indrawi adalah sesuatu yang berada
diluarnya.
3.
Aliran
Mistik dan Pythagoras sebagai tokohnya, yang bermaksud memperkecil atau
mengingkari nilai alam indrawi, dan oleh karena itu aliran ini menganjurkan kepada
manusia untuk meninggalkannya, serta menuju kepada alam yang penuh
kesempurnaan, kebahagiaan, dan kebebasan.
4.
Aliran
Kemanusiaan yang menghargai manusia setingi-tingginya, dan mengakui
kesanggupannya untuk mencapai pengetahuan, serta menganggap manusia sebagai
ukuran kebenaran.[2]
1.
CIRI KHAS HELLENISME-ROMAWI
Pada zaman Alexander Agung telah
berkembang sebuah kebudayaan trans nasional yang disebut kebudayaan helenistis,
karena kebudayaan Yunani tidak terbatas lagi pada kota-kota Yunani raja, tetapi
mencakup juga seluruh wilayah yang ditaklukkan Alexander Agung. Dalam bidang
filsafat, Athena tetap merupakan suatu pusat yang penting, tetapi berkembang
pula pusat-pusat intelektual lain, terutama kota Alexanderia. Akhirnya ekspansi
Romawi meluas sampai ke wilayah Yunani, karena kekaisaran Romawi pun pintu
dibuka lebar untuk menerima warisan kultural Yunani. [3]
Masa
Pertama, dimulai dari empat abad sebelum Masehi
sampai pertengahan abad pertama sebelum Masehi. Aliran-alirannya ialah:
1.
Aliran
Stoa (ar-Riwaqiyah) dengan Zeno sebagai pendirinya. Ia mengajarkan agar manusia
jangan sampai bisa digerakkan oleh kegembiraan atau kesedihan dan menyerahkan
diri tanpa syarat kepada suatu keharusan yang tidak bisa ditolak dan yang
menguasai sesuatu.
2.
Aliran
Epicure, dengan Epicurus sebagai pendirinya. Aliran ini mengajarkan bahwa kebahagiaan
manusia merupakan tujuan utama.
3.
Aliran
Skeptis (ragu-ragu) yang meliputi “aliran Phyro” dan aliran “Akademi Baru”.
Aliran Skeptis mengajarkan bahwa untuk sampai kepada kebenaran, kita harus
percaya dulu bahwa segala sesuatu itu tidak benar, kecuali sudah dapat
dibuktikan kebenarannya.
4.
Aliran
Elektika-Pertama (aliran seleksi). Suatu kecenderungan umum yang mengambil
berbagai unsur, filsafat dari aliran-aliran lain tanpa berhasil mencapai suatu
pemikiran yang sungguh-sungguh.
Masa
Kedua, dimulai dari pertengahan abad pertama
sebelum Masehi sampai pertengahan abad ketiga Masehi. Pemikiran pada masa ini
ialah seleksi dan penggabungan, yaitu memilih beberapa fikiran filsafat kuno
dan menggabungkan pikiran-pikiran itu satu sama lain, atau menggabungkan
pikiran-pikiran itu di satu pihak dengan ketentuan agama dan tasawuf timur di
lain pihak.
Aliran yang
tedapat pada masa ini adalah:
1. Aliran Peripatetik terakhir
2. Aliran Stoa baru
3. Aaliran Epicure baru
4. Aliran Pythagoras
5. Aliran Filsafat Yahudi dan Plato
Filsafat Heellenisme Yahudi adalah suatu pemikiran
fisafat, dimana filsafat Yahudi dipertemukan dengan kepercayaan Yahudi, dengan
jalan penggabungan salah satunya atau membuat susunan yang mengandung dua unser
tersebut.
Masa Ketiga,
dimulai dari abad ketiga Masehi sampai pertangahan abad keenam Masehi di
Bizantium dan Roma, atau sampai pertengahan abad ketujuh atau kedelapan di
Iskandariyah dan Timur Dekat (Asia Kecil). Pada masa ketiga ini mengenal
aliran-aliran:
1. Neo Platonisme
2. Iskandariyah
3. Filsafat di Asia Kecil yang tedapat di
Anthiocia, Harran, ar-Ruha, dan Nissibis.
Aliran-aliran ini merupakan kegiatan terakhir
menjelang timbulnya “aliran Bagdad” yaitu aliran filsafat Islam. Tokoh-tokoh
aliran Iskandariyah adalah, Hermias, Stepanus, dan Yoannes Philoponos.
Neo Platonisme
merupakan rangkaian terakhir dari fase Hellenisme-Romawi, yaitu fase mengulang
yang lama dan bukan fase mencipta yang baru. Di dalamnya terdapat ciri-ciri
filsafat Yunani yang kadang-kadang bertentangan dengan agama-agama langit,
karena dasar filsafat tersebut ialah kepercayaan rakyat yang mempercayai sumber
kekuasaan yang banyak. Dalam Neo Platonisme terdapat unsur-unsur Platonisme,
Pythagoras, Aristoteles Stoa dan Tasawuf Timur.
Uberweg dalam bukunya Geschihte der Philosophie mengatakan bahwa aliran Neo Platonisme
dimulai dari abad pertama Masehi dan berakhir pada pertengahan abad keempat
Masehi, sedang menurut penulis lainnya barakhir pada pertengahan abad ketujuh
Masehi. Menurut Uberweg, pertengahan abad kaempat sampai pertengahan abad
katujuh Masehi adalah masa aliran Iskandariyah yang menggantikan Neo Platonisme.
Perbedaan kedua aliran tersebut ialah:
1) Neo Platonisme berkisar pada segi
metafisika pada filsafat Yununi, yang boleh jadi dalam beberapa hal berlawanan
dengan agama Masehi, sedang aliran Iskandariyah lebih condong kepada matematika
serta ilmu alam dan meninggalkan lapangan metafisika, dan keadaan ini
menyebabkan tidak adanya perlawanan dengan agama Masehi.
2) Neo Platonisme lebih banyak mendasarkan
pikirannya kepada seleksi dan pemanduan, sedang aliran iskandariyah lebih
banyak mengadakan ulasan-ulasan terhadap pikiran-pikiran filsafat.
Ulasan-ulasan yang sampai kepada kaum muslimin
datang dari aliran Iskandariyah dan aliran Hellenisme-Romawi. Jumlahnya ada
tiga, yaitu:
a. Ulasan dari golongan peripatetic dari
masa sebelum Neo Platonisme, terutama dari Iskandariyah Aphrodisias.
b. Ulasan dari aliran Neo Platonisme,
terutama dari Porphyrius; mungkin ulasan ini dapat menjelaskan adanya usaha
dari al-Farabi dan Ibnu Sina untuk mempertemukan agama dengan
filsafat-filsafat.
c. Ulasan dari orang-orang Iskandariayah
seperti Hermias, Stephanus, dan Joannes Philoponos.
Aliran Neop Platonisme mempunyai tiga fase, yaitu
fase aliran Plotinus dan muridnya, fase Siria dari Lamblichus, dan fase aliran
Athena dari Plutarch dan Proches.
Plotinus
mendasarkan filsafatnya kepeda dua dialektika (jalan), yaitu dialektika-menurun
(a way down, al-jadal an-nazil) dan
dialektika menaik (a way up,al-jadal
as-sha-id). Dialektika menurun digunakan untuk menjelaskan “Wujud
Tertinggi” (the Highest Being atau the
First atau at-Tabiat al-Ula atau Wujud al-Awwal) dan cara keluarnya alam
daripada-Nya. Plotinus juga terkenal dengan teorinya yang esa. Dialektika
dipakai untuk menjelaskan soal-soal akhlak dan jiwa dengan maksud untuk
menentukan kebahagiaan manusia.
Wihdat al Wujud
dari Plotinus. Untuk menjelaskan ini Plato hendak menghubungkan antara alam
azali dengan alam lahir atau antara alam rohani dengan alam materi. Ia
menghubungkan keduanya dengan menggunakan teori Ide, dimana ia mengatakan
adanya dua wujud, dimana yang satu menjadi pokok dan yang lain keluar menjadi
bayangannya. Aristoteles dalam metafisiknya juga hendak menghubungkan kedua
alam tersebut, untuk menghindarin kekurangan Plato ia menggunakan teori Form dan Matter (Shurah dan Maddah).[4]
Keadaan yang
pertama (Yang Esa). Dalam istilah
filsafat, yang dimaksud istilah “Yang Esa” dari Plotinus adalah bahwa “Ia” menempati tingkatan tertinggi dari
semua tingkatan wujud ini, yang dinamakannya “Yang Pertama” atau “Wujud yang
tertinggi”. Karena keesaan-Nya yang mutlak, ia tidak bisa dikatakan “Akal”
(pikiran) atau pun “ma’qul” (yang
dipikirkan) karena sifat-sifat tersebut menimbulkan pluralitas,
sekurang-kurangnya dalam pikiran. Untuk mempertahankan keesaan Tuhan yang
mutlak, Plotinus menjauhkannya dari segala pemikiran manusia yang bisa menimbulkan pluralitas,
meskipun hanya dalam gambaran pikiran.
“Yang pertama” bagi Plotinus bukan pikiran dan tidak
mempunyai kehendak (kemauan), bukan jauhar
dan bukan pula ‘aradh. Ia hanya
disifati dengan kebaikan semata-mata, tetapi kebaikan-Nya itu adalah Zat-Nya
sendiri, bukan suatu sifat yang berdiri pada-Nya, sehingga tidak perlu
menimbulkan bilangan sama sekali.
Sifat-sifat akal itu adalah:
1. Akal keluar langsung dari “Yang Pertama”
dan kedudukannya dalam wujud ini adalah sesuatu “Yang Pertama”. Keesaan “Yang
Pertama” dari segala segi, menjadi berbilang dengan akal, karena dengan adanya
akal (pikiran), ada lagi yang menjadi objek pikiran (ma’qul).
2. Akal keluar dari “Yang Pertama” bukan dalam
proses waktu, sebagaimana halnya dengan wujud abstrak lainnya.
3. Keluarnya akal dari “Yang Pertama” tidak
memengaruhi kesempurnaan-Nya.
4. Akal keluar dari yang pertama dengan
sendirinya, tidak perlu mengandung paksaan dan perubahan pada-Nya, bukan pula
karena kehendak dan pilihan-Nya, karena pendapat kehendak (iradah)bararti merusak keesaan-Nya, sebab dengan “sendirinya” (natural necessaty), keesaan yang
pertama tetap terpelihara tanpa menimbulkan bilangan.
5. Kedudukan akal diantara semua wujud
ialah sebagai pembuat alam (shani’ul-alam,
demiurge).
Sifat-sifat jiwa alam menurut
Plotinus:
1.
Jiwa
alam mengandung akal sebagai yang menciptakannya, dan jiwa alam tersebut memberi
sinar kepada alam indrawi (sensual world)
dengan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya.
2.
Kedudukan
jiwa alam adalah sesudah akal dan merupakan akhir wujud alam (alam al-mujarradat) serta menjadi
penghubung antara alam indrawi dengan alam ghaib (super sensual world) atau alam dari Plato.
3.
Karena
kedudukan itu, jiwa alam dari satu segi terbagi, dan dari segi lain tidak bisa
terbagi.
4.
Adanya
tingkatan-tingkatan wujud ini menyebabkan Plotinus mengatakan adanya dua macam
jiwa. Pertama, jiwa yang tidak berhubungan langsung dengan indrawi (sensual).
Kedua, jiwa yang merupakan wakil jiwa yang pertama, yang menjadikan alam
indrawi dan disebut tabiat alam ini.
5.
Jiwa
alam adalah wakil alam dalam memelihara dan membekasi alam di bawahnya,
sebagaimana akal itu sendiri menjadi wakil “Yang Pertama”.
Sifat-sifat alam materi:
1.
Tingkatan
alam materi ialah sesudah jiwa alam, dan menjadi asal (sumber) bagi alam lahir
ini.
2.
Materi
menjadi sebab ketidaksempurnaan dan kekurangan.
3.
Plotinus
menganggap ada materi lain yang terdapat dalam alam abstrak, sedangkan alam
lahir ini pun merupakan gambaran dari
alam abstrak.
Peralihan filosofis Yunani menjadi
filosofi Hellen-Romana disebabkan terutama oleh Alexandras yang besar, murid
Aristoteles. Dalam perkembangan masa Helle-Romana, ilmu pengetahuan disipliner
dan applied science semakin menguat. Karena orang merasakan manfaat ilmu
terhadap kehidupan, berbeda dengan filsafat yang lebih banyak membingungkan.
Ilmu matematika, ilmu alam, gramatika, filolologi, sejarah, kesusastraan dan
sejarah umum besar sekali manfaatnya. Filsafat dibutuhkan untuk membangkitkan
rasio agama masyarakat, tetapi akhirnya agama yang dianut adalah agama yang
benar-benar produk filsafat.[5]
Buku-buku
Hellenisme-Romawi
1. Buku Arismatic (Introduction to Arismatic) karangan Nicomacua dari gerasa yang
hidup pada pertengahan abad ke-2 M. Dalam pikirannya ia lebih condong pada
aliran Phytagoras lama. Menurut Sotillana (penerjemah buku tersebut)
pikiran-pikiran aliran Phytagoras bercampur dengan pikiran-pikiran Babilonia
purba pada golongan Sabiah di Irak, yaitu orang-orang Harran.
2. Buku Poimandres, susunam Hermes
Trismegistus, yang mencerminkan paduan antara pikiran Plato dan aliran
Phytagoras baru dengan kepercayaan Mesir Kuno. Buku tersebut berisi tentang
percakapan antara akal-ketuhanan (logos) dengan muridnya, yaitu Hermes, dalam
soal yang bertalian dengan Zat Tuhan, sumber alam dan limpahan sinar Tuhan
(isyraq) pada manusia.
Buku-buku
Masa Neo Platonisme
1. Buku Enneafs (Ke-sembilan-an), karangan
Plotinus dari Mesir. Buku ini merupakan kumpulan karangan-karangan pendek yang
berjumlah 54 buah dan disusun kembali oleh Phorpyry sepeninggal Plotinus, dan
dijadikan enam buku (kumpulan), dimana tiap-tiap buku berisi Sembilan karangan.
2. Buku Theologia (Ketuhanan) yang merupakan
pilihan dari buku Enneafs. Buku tersebut ditulis dalam bahasa Suriani dan
dikatakan bahwa pengarangnya adalah Aristoteles, orang yang menerjemahkannya
kedalam bahasa Arab, banyak mengadakan perubahan isinya atau tambahan dan tidak
banyak yang memahami isi bagian-bagiannya yang lain.
3. Buku Isagoge karangan Pharpyry, yang
berarti pengantar, karena dianggap sebagai jalan mempelajari buku-buku
Aristoteles yang mengenai logika dan berisi predikat yang lima. Buku tersebut
diterjamahkan oleh Ibn al-Muqaffa.
4. Buku tentang “qadimnya alam” karangan
Proclus yang dikenal oleh penulis-penulis Islam.
5. Buku “Unsur-unsur Ketuhanan” karangan
Proclus.
6. Buku” Bantahan terhadap Proclus” yang
terkenal di kalangan penulis-penulis Islam.[6]
BAB III
KESIMPULAN
Helenis atau Helenisasi, berasal
dari kata Yunani “Helen” (Istilah yang dipakai oleh orang Yunani untuk
menyebutkan etnik mereka). Helenis juga digunakan untuk mendeskripsikan
perubahan kultural di mana sesuatu yang bersifat bukan Yunani menjadi Yunani
(peradaban Helenistik).
Ciri-ciri filsafat Yunani sebelum
Islam yaitu, apa yang dibenarkan oleh akal pikiran dinamakan filsafat, dan apa
yang tidak dapat diterima oleh akal pikiran dimaksudkan dalam cerita-cerita
agama. Sifat-sifat menurut Plotinus ada tiga yaitu sifat akal, sifat jiwa, dan
sifat alam materi.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim,
Abdul dan Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat
Umum dari Metologi sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.
Hanafi,
Ahmad. 1991. Pengantar Filsafat Islam.
Jakarta: Bulan Bintang.
Ihsan,
A.Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta:
Rineka Cipta.
- [1] http://senaru.wordpress.com,25 Oktober 2014.
[4] Ahmad Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam…, hal. 28-34.
[5] Atang
Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat
Umum dari Metodologi sampai Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal.106-111.
[6] Ahamad Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam…, hal. 47-48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar