BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meskipun aliran Mu’tazilah pada era dewasa ini sulit
ditemukan, pemikiran-pemikiran Mu’tazilah menurut hemat penulis sepertinya
terus berkembang, tentunya dengan gaya baru dan dengan nama-nama yang cukup
menggelitik dan mengelabui orang yang membacanya. Sebut saja istilah
Modernisasi Pemikiran, Sekulerisme, dan nama-nama lainnya yang mereka buat
untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemikiran itu
dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran
yang bersumber dari akal pikiran semata.
Untuk itulah, pada kesempatan ini penulis mencoba untuk membahas tentang asal usul aliran Mu’tazilah berikut prinsip-prinsip pemikiran mereka agar kita dapat mengetahui secara jelas apakah aliran ini memang dapat diterima atau malah menyimpang dari ajaran agama Islam. Namun pada pembahasan ini, penulis sengaja tidak banyak memaparkan bentuk bantahan-bantahan terhadap aliran Mu’tazilah ini, karena tujuan utama makalah ini hanya sekedar memperkenalkan prinsip-prinsip aliran tersebut.
Untuk itulah, pada kesempatan ini penulis mencoba untuk membahas tentang asal usul aliran Mu’tazilah berikut prinsip-prinsip pemikiran mereka agar kita dapat mengetahui secara jelas apakah aliran ini memang dapat diterima atau malah menyimpang dari ajaran agama Islam. Namun pada pembahasan ini, penulis sengaja tidak banyak memaparkan bentuk bantahan-bantahan terhadap aliran Mu’tazilah ini, karena tujuan utama makalah ini hanya sekedar memperkenalkan prinsip-prinsip aliran tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian Mu’tazilah ?
2. Bagaimana
asal-usul kemunculan Mu’tazilah ?
3. Apa
saja prinsip-prinsip ajaran Mu’tazilah ?
4. Siapa
Tokoh-Tokoh Mu’tazilah ?
5. Bagaiman
kemunduran Mu’tazilah ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mu’tazilah
1. Secara
Bahasa
Kata Mu’tazilah berasal dari kata ‘azala, ya taziluhu’, azlan, wa’azlahu,
fa’tazala a-in’azala, wa ta’azzala yang artinya menyingkir atau memisahkan
diri.[1]
2. Secara
Istilah
Mu’tazilah adalah sebuah sekte sempalan yang
mempunyai lima pokok keyakinan (Al-Ushul
Al-Khamsah), meyakini dirinya merupakan kelompok moderat diantara dua
kelompok ekstrem yaitu murji’ah yang menganggap pelaku dosa besar tetap
sempurna imannya dan khawarij yang menganggap pelaku dosa besar telah kafir.[2]
B. Asal Usul Kemunculan Mu’tazilah
Secara
harfiah kata mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[3]
Secara teknis, istilah Mu’tazilah
menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (selanjutnya
disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini
tumbuh sebagai kaum netral politk. khususnya dalam arti bersikap lunak dalam
menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama
Mu’awiyah. Aisyah dan Abdullah bin Zubair. Golongan inilah yang mula-mula
disebut kaum Mu’tazilah karena mereka
menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah.[4]
Golongan kedua
(selanjutnya disebut Mu’tazilah II)
muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan
golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir
kepada orang yang berbuat dosa besar.
Pemberian
nama Mu’tazilah berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Ata serta
temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Wasil mengikuti
pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al-Basri di mesjid Basrah, datanglah
seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang
berdosa besar. Ketika Hasan Al-Basri masih berfikir, Wasil mengemukakan
pendapatnya dengan mengatakan “Saya
berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula
kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak
kafir.” Kemudian Wasil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan pergi ke
tempat lain dilingkungan mesjid. Disana Wasil mengulangi pendapatnya di hadapan
para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al-Basri berkata, “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala
anna ).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri pada
peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.[5]
Versi
lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amir
bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnya karena ada
pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar.[6]
Versi
lain dikemukakan oleh Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah
pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid
yang disangkanya adalah majelis Hasan Al-Basri. Setelah mengetahuinya bahwa
majelis tersebut bukan majelis Hasan Al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan
tempat sambil berkata, “ini kaum
Mu’tazilah”.[7]
Al-Mas’udi
memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara
Wasil dan Hasan Al-Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir
dan mukmin (al-manzilah bain
al-manzilatain ).[8]
Teori
baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, menerangkan bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya
peristiwa Wasil dan Hasan Al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang
posisi di antara dua posisi.
Dengan
demikian, kata I’tazala dan Mu’tazila
telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dan Hasan
Al-Basri, yang mengandung arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam
pertikaian politik yang terjadi pada zamanya.[9]
C.A.
Nallino, seseorang oreintalis Itali, mengemukakan pendapat yang hampir sama
dengan Ahmad Amin dan selaras dengan Mas’udi. Ia berpendapat bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya bukan berarti
“memisahkan dari umat Islam lainnya” sebagaimana pendapat Asy-Syahrastani,
Al-Baghdadi, dan Tasy Qubra Zadah. Nama Mu’tazilah
diberikan kepada mereka karena mereka berdiri netral diantara Khawarij dan Murji’ah.[10]
Golongan
Mu’tazilah dikenal juga dengan
nama-nama lain seperti ahl al-adl
yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-tawhid wa al-adl yang berarti golongan
yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan.[11]
Lawan Mu’tazilah memberi nama
golongan ini dengan Al-Qadariyah
karena mereka menganut faham free will
and free act, yakni bahwa manusia
itu bebas berkehendak dan bebas berbuat. Mereka menamainnya juga Al-Mu’tazilah karena golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan. Mereka
juga menamainnya dengan wa’diah,
karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang
yang tidak taat akan hukum-hukum Tuhan.
C.
Prinsip
Ajaran Mu’tazilah
1. Tauhid
Tauhid adalah dasar ajaran Islam yang pertama dan
utama. Sebenarnya tauhid ini bukan monopoli Mu’tazilah saja, tetapi ia menjadi
milik setiap orang Islam. Hanya saja Mu’tazilah mempunyai tafsir yang khusus
sedemikian rupa dan mereka mempertahankannya, sehingga mereka menamakan dirinya
sebagai Ahlus Adli Wat Tauhid.
Menurutnya, Tuhan itu Esa, tidak ada yang
menyamainya, bukan jisim, bukan jauhar, bukan ‘aradl, tidak berlaku padanya
masa, tidak mungkin mengambil ruang dan tempat, tidak bisa disifati dengan
sifat-sifat yang ada pada makhluk yang menunjukan ketidakazalian-Nya, tidak
terbatas, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak dapat dicapai dengan
panca indera, tidak bisa dilihat dengan mata kepala tidak bisa digambarkan
dengan akal fikiran. Tuhan Maha Mengetahui, berkuasa dan hidup, tetapi tidak
seperti orang yang mengetahui, orang yang berkuasa dan orang yang hidup. Tidak
ada yang menolong-Nya dalam menciptakan apa yang diciptakan-Nya dan tidak
membikin makhluk karena contoh yang telah ada sebelumnya.
2. Adil
Keadilan berarti meletakan tanggung jawab manusia
atas perbuatan-perbuatannya. Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak
menciptakan perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya
dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, karena kekuasan yang dijadikan Tuhan
pada diri manusia. Tuhan tidak memerintah kecuali apa yang dilarang-Nya. Tuhan
hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan berlepas diri dari
keburukan-keburukan yang dilarang-Nya. Dengan dasar keadilan ini, Mu’tazilah
menolak golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia dalam segala
perbuatannya tidak mempunyai kebebasan, manusia dalam keterpaksaan.
3. Janji
Dan Ancaman
Tuhan berjanji akan memberi pahala dan mengancam
akan menjatuhkan sikasaan, pasti dilaksanakan, karena Tuhan sudah menjanjikan
demikian. Siapa yang berbuat baik maka dibalas dengan kebaikan dan sebaliknya
mereka yang berbuat kejahatan akan dibalas dengan kejahatan pula. Tidak ada
ampunan terhadap dosa besar tanpa taubat, sebagaimana tidak mungkin orang yang
berbuat baik tidak menerima pahala.
4. Tempat
di Antara Dua Tempat
Washil Bin Atho’ mengatakan bahwa orang yang berdosa
besar selain musyrik itu tidak mukmin
dan tidak pula kafir, tetapi fasik. Fasik terletak antara iman dan
kafir.
5. Amar
Ma’ruf Nahi Munkar
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan taklif
dan lapangan fiqih daripada lapangan tauhid. Di dalam Al-Qur’an banyak ayat
yang menerangkan masalah amal ma’ruf nahi munkar ini, anatara lain pada surat
Ali Imran ayat 104 dan surat Luqman ayat 17. Prinsip ini harus dijalankan oleh
setiap orang islam untuk menyiarkan agama dan mengambil bagian dari tugas ini. Sejarah
menunjukan betapa gigihnya orang-orang Mu’tazilah itu mempertahankan islam,
memberantas kesesatan-kesesatan yang tersebar luas pada permulaan Khilafah Bani
Abbasiyyah, yang hendak mengahancurkan kebenaran Islam bahkan tidak segan-segan
menggunakan kekerasan dalam melaksanakan prinsip tersebut, meskipun terhadap
sesama golongan Islam, sebagaimana yang pernah dialami golongan ahli Hadist
dalam masalah Khalqul Qur’an.[12]
D.
Tokoh-
Tokoh Mu’tazilah
Tokoh-tokoh Mu’tazilah banyak sekali. Tetapi sebagian
saja yang disebutkan, yaitu yang nampak jelas peranannya dalam perkembangan
aliran Mu’tazilah, baik berupa buah-fikiran maupun usaha lainnya.
1.
Wasil bin ‘Ata al-Ghazzal (80-131 H.
atau 699 M).
Ia adalah pendiri aliran Mu’tazilah dan yang
meletakan ajaran-ajaran yang lima yang menjadi dasar semua golongan Mu’tazilah.
Kebanyakan pendapat-pendapatnya belum matang.
2.
Abu al Huzail al-Allaf (135-226 H atau
753-840 M).
Ia menjadi pemimpin aliran Mu’tazilah Basrah. Ian
mempelajari buku-buku Yunani dan banyak terpengaruh dengan buku-buku itu.
Karena dialah aliran Mu’tazilah mengalami kepesatan. Pendapat-pendapatnya
adalah :
a)
Tentang aradl; dinamakan aradl bukan
karena mendatang pada benda-benda, karena banyak aradl yang terdapat bukan pada
benda, seperti waktu, abadi dan hancur. Ada aradl yang abadi dan ada yang tidak
abadi.
b)
Menetapkan adanya bagian-bagian yang
tidak dapat dibagi-bagi lagi (atom).
c)
Gerak dan diam; benda yang bayak
bagian-bagiannya bisa bergerak dengan satu bagian yang bergerak. Menurut
mutakallimin, hanya bagian itu sendiri yang bergerak.
d)
Hakekat manusia; hakekatnya adalah
badannya dan jiwannya (nafs atau rukh).
e)
Gerak penghuni surga dan neraka;
gerak-gerik mereka akan berakhir dan menjadi ketenangan (diam). Di dalam
ketenangan ini terkumpul semua kesenangan dan siksaan.
f)
Qadar; manusia bisa mengadakan
perbuatan-perbuatannya di dunian, akan tetapi kalau sudah berada di akhirat
tidak berkuasa lagi.
g)
Khabar tentang sesuatu yang dapat
dicapai panca indra hanya bisa diterima apabila diberitakan oleh 20 orang
sekurang-kurangnya, seorang diantaranya ahli sorga (maksudnya golongan
Mu’tazilah).
3.
Ibrahim bin Sayyar An-Nazzam (wafat 231
H atau 845 M).
Ia adalah murid Abdul-Huzail al-Allaf, orang
terkemuka, lancar bicara, banyak mendalami filsafat dan banyak karangannya.
Ketika kecil, ia banyak bergaul dengan orang-orang bukan dari golongan Islam.
Dan sesudah dewasa banyak berhubungan dengan filosof-filosof masanya. Beberapa
pendapatnya berlainan dengan orang-orang Mu’tazilah lainnya.
4.
Mu’ammar bin ‘Abbad as-Sulmay (wafat 220
H/835 M).
Banyak terpengaruh oleh filosof-filosof, terutama
tentang sifat-sifat Tuhan.
5.
Bisyr bin Al-Mu’tamir (wafat 226 H/840
M).
Pendapatnya adalah siapa yang taubat dari suatu dosa
besar kemudian mengerjakan dosa besar lagi, ia akan menerima siksa yang perama
juga, sebab taubatnya dapat diterima dengan syarat tidak mengulangi lagi.
Dengan kata lain, siksanya akan berlipat ganda.
6.
Jahiz, Amr bin Bahr (wafat 255 H/808 M).
Ia
terkenal tajam penanya, banyak karangannya dan gemar membaca buku-buku
filsafat, terutama filsafat alam.
Karangan-karangannya
yang masih ada hanyalah yang bertalian dengan kesusasteraan.[13]
E.
Kemunduran
Golongan Mu’tazilah
Setelah
beberapa puluh tahun lamanya golongan Mu’tazilah mencapai kepesatan dan
kemegahannya, akhirnya mengalami kemunduran. Kemunduran ini sebenarnya karena
perbuatan mereka sendiri. Mereka hendak membela/memperjuangkan kebebasan
berfikir akan tetapi mereka sendiri memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti
pendapat-pendapat mereka. Puncak tindakan mereka ialah ketika Al-Ma’mun menjadi
khalifah dimana mereka dapat memaksakan pendapat dan keyakinan mereka kepada
golongan-golongan lain dengan menggunakan kekuasaan Al-Ma’mun.
Akan
tetapi persengketaan tersebut dapat dibatasi dengan tindakan Al-Mutawakkil,
lawan golongan Mu’tazilah, untuk mengembalikan kekuasaan golongan yang
mempercayai keazlian Al-Quran.
Akan tetapi, mundurnya golongan
Mu’tazilah sebagai golongan yang teratur tidak menghalang-halangi lahirnya
simpatisan dan pengikut-pengikut yang setia yang menyiarkan ajaran-ajarannya.
Kalau
pemikiran islam pada Mu’tazilah bercorak rationalis murni, maka pada masa
sesudahnya berubah coraknya sedemikian rupa, sehingga bisa diterima sebagai
alat memperkuat ajaran-ajaran agama dan tali penghubung taklid-buta yang
memerangi teguh tex-tex/nas dengan pentakwilan nas sebagai jalan untuk
menundukan agama kepada akal-fikiran semata-mata.[14]
BAB
III
KESIMPULAN
Aliran Mu’tazilah yang selalu
membawa persoalan-persoalan teologi banyak memakai akal dan logika sehingga
mereka dijuluki sebagai “kaum rasionalis Islam“. Penghargaan mereka yang tinggi
terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan pendapat di
kalangan mereka sendiri, hal ini disebabkan keberagaman akal manusia dalam
berfikir. Bahkan perbedaan tersebut telah melahirkan sub-sub sekte (aliran)
mu’tazilah baru yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak
pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Tim
Ulin Nuha Ma’had ‘Alyanur, 2010, Dirasatul
Firaq, Solo : Pustaka Arafah
Lisanul
Arab 11/440, Al-Misbahul Munir
Luwis
Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah, Darul Kitab Al-Arabi, cet.X, Beirut.t.t,
Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta : Yayasan Wakaf
Paramadina, 1995)
Muhammad
bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani,
Al-Milal wa An-Nihal, tp., Kairo, 1951
Abu
Mansur Al-Baghdadi, Al-Farq bain Al-Firaq,
Maktabah Subeih, Kairo
Ahmad
Mahmud Subhi, Fi’ilm Al-Kalam,ttp..,
Kairo, 1969
Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran
Sejarah, Analisa Perbandingan, (Jakarta : UI Press, 1986)
Abd Ar-Rahman Badawi, At-Turas Al-Yunani fi Al-Iladarah
Al-Islamiyah,ttp. kairo, 1965
Al-Nasysyar, Nisy’ah Al-Fikr Al-Falsafi fi Al-Islam, (Kairo, tp 1996)
Nasir
Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam,
(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1996)
A. Hanafi, Theologi
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1962)
[1] Lisanul Arab 11/440, Al-Misbahul
Munir. 1/57.
[2] Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Alyanur, Dirasatul Firaq, (Solo : Pustaka
Arafah,2010),hal.126.
[3] Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi
Al-Lughah, Darul Kitab Al-Arabi, cet.X, Beirut.t.t, hal 207.
[4] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin
dan Peradaban, (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), hal.17.
[5] Muhammad bin Abd Al-Karim
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal,
tp., Kairo, 1951, hal. 48.
[6] Abu Mansur Al-Baghdadi, Al-Farq bain Al-Firaq, Maktabah Subeih,
Kairo, hal. 20 dan 21.
[7]Ahmad Mahmud Subhi, Fi’ilm Al-Kalam,ttp.., Kairo, 1969,
hal.75.
[8] Ibid..,hal.76.
[9] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah, Analisa
Perbandingan, (Jakarta : UI Press, 1986), hal.
[10] Abd Ar-Rahman Badawi, At-Turas Al-Yunani fi Al-Iladarah
Al-Islamiyah,ttp..kairo,1965, hal.185.
[11] Al-Nasysyar, Nisy’ah Al-Fikr Al-Falsafi fi Al-Islam,
(Kairo, tp 1996), hal.429
[12] Nasir Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada, 1996), hal.112
[13]
A. Hanafi, Theologi
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1962), hal. 61-64.